Jakarta – elangmasnews.com,- 13 April 2025,- Masyarakat Indonesia semakin resah dan tidak nyaman setelah menyaksikan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di berbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan banyak pelaku industri dan pemilik pabrik untuk bertahan di tengah situasi ekonomi yang terus memburuk.
Dampaknya begitu luas. Pengangguran melonjak, kemiskinan meningkat, dan tindak kejahatan mulai menanjak. Namun, yang menjadi pertanyaan besar: mengapa masyarakat tidak merasakan manfaat apapun meskipun berbagai proyek infrastruktur bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah telah bergulir di daerah-daerah?
“Kritik Tajam dari Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH”
Sebagai pemerhati masyarakat dan pengamat kinerja kepala daerah selama lebih dari 25 tahun, “Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH” menyoroti realitas pahit yang terjadi di lapangan. Ia menyampaikan keprihatinan mendalam atas banyaknya perusahaan besar—baik nasional maupun asing—yang memperoleh keuntungan besar dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Namun, masyarakat lokal justru tidak merasakan dampak ekonomis apapun. Bahkan, banyak yang hidup dalam kondisi ekstrem miskin, dengan pendapatan di bawah Rp700.000 per bulan.
“Banyak perusahaan berdiri dengan modal besar dan keuntungan puluhan miliar per bulan. Tapi masyarakat sekitarnya tetap miskin,” tegas Prof. Sutan Nasomal.
“Pembangunan Tak Berkeadilan”
Menurutnya, janji-janji bahwa hadirnya para pemodal akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat hanyalah dongeng semata. Selama 25 tahun terakhir, perkebunan milik masyarakat dirampas, masyarakat digusur, dan sumber penghidupan mereka dihancurkan. Hal ini juga terjadi dalam sektor kehutanan, di mana jutaan hektar hutan yang diwariskan secara turun-temurun dibabat habis. Akibatnya, muncul bencana alam seperti banjir, tanah longsor, hilangnya sumber air, hingga matinya lahan pertanian.
Nelayan pun turut merasakan penderitaan. Biaya melaut kian tinggi sementara sumber ikan rusak akibat pencemaran laut.
“Seruan Tegas kepada Kepala Daerah”
Prof. Sutan Nasomal menyerukan kepada seluruh kepala daerah—gubernur, wali kota, hingga bupati—agar lebih berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat. Ia menegaskan bahwa pemberian izin industri seharusnya disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal, termasuk jaminan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan.
“Jangan hanya memberikan karpet merah kepada pemilik modal tanpa memperjuangkan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Ia juga menyentil janji-janji politik yang dilontarkan para kepala daerah saat Pilkada dan Pilpres 2019 lalu. “Putra daerah Nusantara menunggu realisasi janji politik kalian. Jangan sampai 2025 menjadi masa panen dari benih ketidakadilan yang kalian tanam selama 25 tahun ini.”
“Kearifan Lokal yang Terabaikan
Ia mengutip pepatah para leluhur, bahwa membangun bangsa harus berdasarkan **ilmu keseimbangan alam dan keadilan bagi manusia**. Negara ini, menurutnya, merupakan titipan dari para leluhur dan putra-putra daerah yang menginginkan kemakmuran dan kesejahteraan, bukan eksploitasi yang berujung kehancuran.
Pada masa lalu, petani dan masyarakat desa mampu hidup sejahtera. Mereka bahkan mampu membeli dan menyimpan emas dari hasil panen. Kini, kondisi itu tinggal cerita. Kemiskinan meluas, dan hasil pertanian tak lagi menjadi tumpuan hidup.
“Harapan untuk Masa Depan”
Prof. Sutan Nasomal yang juga menjabat sebagai “Presiden Partai Oposisi Merdeka”, “Pakar Hukum Pidana Internasional”, serta ‘Jenderal Komite Mantan Preman Indonesia Istighfar”, mengajak seluruh pemimpin daerah untuk kembali pada nilai-nilai keadilan, keberpihakan kepada rakyat, serta menjaga amanah sejarah.
“Apa yang ditanam dalam 25 tahun terakhir, kini sudah saatnya dipanen. Jika yang ditanam adalah kesulitan dan ketidakadilan, maka itulah yang kini dituai,” pungkasnya.(Red)
Narasumber:
Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH
Presiden Partai Oposisi Merdeka
Pakar Hukum Pidana Internasional
Jenderal Komite Mantan Preman Indonesia Istighfar.