
Salah satu dampak yang paling dirasakan warga adalah polusi debu yang sangat parah, yang disebut membuat lingkungan kerja menjadi ‘sangat tidak layak’.
Selain debu, masalah utama lainnya adalah pengelolaan air sisa produksi. Menurut Yadi, perusahaan readymix membutuhkan banyak air untuk produksinya. Namun, air limbahnya, khususnya air semen, meluber karena pengelolaannya tidak sesuai standar.
Pihak DLH (Dinas Lingkungan Hidup) sudah sempat mengingatkan perusahaan untuk membuat kubangan penampungan air, tetapi pembuatan kubangan tersebut tidak sesuai standar yang berlaku. Akibatnya, lingkungan menjadi tidak sehat.
Masalah Perizinan dan Transparansi yang Minim
Masyarakat telah berulang kali mempertanyakan dokumen lingkungan hidup perusahaan, yang dianggap sangat prinsipil. Namun, pihak perusahaan disebut tidak pernah memberikan dokumen tersebut atau bahkan berkomunikasi dengan warga untuk membahasnya.
Hal ini bertentangan dengan regulasi, khususnya Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 2009, yang menganjurkan adanya komunikasi dan ruang publik dalam proses perizinan.
Ketika warga mengonfirmasi ke pihak DLH, mereka mendapat informasi bahwa dokumen tersebut sudah ada, namun pihak perusahaan belum pernah melakukan komunikasi publik dengan warga di lapangan.
Bahkan, warga mengaku mendapat informasi yang kurang pantas dari pihak DLH yang menyebut dokumen lingkungan hidup sebagai ‘dokumen rahasia negara’ dan ‘tidak bisa dibuka’.
Terkait izin operasional, warga telah melakukan konfirmasi ke pihak perizinan di Subang. Hasilnya, pihak perusahaan belum memiliki izin di Subang. Dokumen yang ada di OSS (Online Single Submission) pun hanya terkait dengan lokasi di Sidoarjo.
Akibatnya, perusahaan juga belum membayar pajak karena tidak adanya izin.
Langkah dan Harapan Warga
Warga telah menempuh berbagai jalur untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk berkomunikasi dengan Satpol PP. Namun, hingga kini perizinan perusahaan masih simpang siur.
Yadi Supriadi menegaskan bahwa masyarakat tidak bermaksud menghambat investasi. Mereka hanya meminta transparansi dan mendorong perusahaan untuk segera mengurus izinnya.
“Di satu sisi, ketika masyarakat menyikapi adanya pengusaha dalam tanda petik nakal, kami diidentikkan dengan premanisme, kami dianggap menghambat investasi. Tapi di sisi lain, kelakuan mereka sendiri yang menurut kami kurang ajar,” ujar Yadi.
Warga berharap semua pihak bisa transparan, terutama mengingat dampak lingkungan yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat setempat, bukan hanya oleh pemerintah daerah.
(Hrn/Tim)