Deli Serdang,ELANGMASNEWS.COM,1 Oktober 2025 – Kasus penipuan penerimaan calon taruna Akademi Kepolisian (AKPOL) dengan terdakwa Nina Wati terus menuai sorotan. Meski terbukti merugikan korban Afnir alias Menir hingga Rp1,3 miliar, Pengadilan Tinggi Medan hanya menjatuhkan vonis 10 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mencapai 2 tahun.
Tokoh masyarakat Sumatera Utara, Ir. Henry Dumanter Tampubolon, MH, menilai Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli lemah dalam menangani perkara ini. Menurutnya, jaksa tidak maksimal dalam tuntutan dan justru kalah di tingkat banding. “Patut diduga ada permainan antara terdakwa dan jaksa. Jangan sampai masyarakat menilai ada main mata,” tegasnya.
Henry juga mendesak agar Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) serta Komisi Kejaksaan (Komjak) turun langsung membentuk tim khusus. Hal ini diperlukan untuk memastikan tidak ada oknum jaksa yang bermain dalam kasus besar yang merugikan korban miliaran rupiah.
Akademisi sekaligus praktisi hukum pidana, Dr. Adv. Sri Wahyuni Laia, SH, MH, juga menilai tuntutan jaksa sangat rendah. Ia menyoroti bahwa memori banding yang diajukan tidak menghadirkan argumen baru sehingga putusan tetap sama dengan pengadilan tingkat pertama. “Ini sangat disayangkan. Apalagi Nina Wati sudah residivis dan punya lebih dari satu laporan polisi dalam kasus serupa,” ujarnya.
Sri Wahyuni menambahkan, seharusnya terdakwa dituntut hukuman maksimal sebagai bentuk efek jera. Ia berharap Kejagung ikut mengkaji ulang memori kasasi dan bahkan terlibat langsung dalam penyusunannya. “Kalau perlu Kejagung ikut langsung dalam penyusunan memori kasasi agar unsur pidana terpenuhi,” tandasnya.
Menanggapi kritik, Kepala Cabang Kejari Labuhan Deli, Hamonangan P. Sidauruk, SH, MH, menegaskan pihaknya sudah menempuh upaya hukum terakhir berupa kasasi ke Mahkamah Agung. “Berkas kasasi sudah kami kirim. Putusan ini memang lebih ringan dari tuntutan kami, karena itu kami ajukan kasasi,” jelasnya.
Hamonangan juga membantah anggapan bahwa jaksa sengaja menunda eksekusi. Menurutnya, putusan belum bisa dieksekusi karena belum berkekuatan hukum tetap. “Salinan putusan tidak memerintahkan eksekusi, karena masih dalam proses hukum. Jadi belum final,” katanya.
Di sisi lain, beredar isu liar bahwa terdakwa menggelontorkan dana hingga Rp20 miliar untuk meloloskan diri dari jerat hukum berat. Meski kabar ini belum bisa dibuktikan, publik semakin curiga ada praktik tak sehat dalam penanganan perkara. Desakan agar Kejagung turun tangan pun semakin kuat, demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
*(EMN.TimRedaksi)*.