Ujung Dari Ambisi Dinasti Bermuara Pada Kekuasaan Yang Tidak Bermuka

Ujung Dari Ambisi Dinasti Bermuara Pada Kekuasaan Yang Tidak Bermuka
Spread the love

Sunarto Amrullah, Ketum LSM ELANG MAS :

” Ujung Dari Ambisi Dinasti Bermuara Pada Kekuasaan Yang Tidak Bermuka ”

Subang,Jawa Barat,- elangmasnews.com – Tragika dari ambisi yang tidak terkendali ketika ingin merengkuh kekuasaan dengan segala cara yang bisa menjadi malapetaka. Setidaknya, ambisi yang berlebihan itu dapat menjadi olok-olok bahkan cercaan yang tidak berkesudahan.

Contoh nyata yang terjadi di negeri kita Indonesia hari ini adalah maraknya model kekuasaan dinasti yang terkesan dipaksakan dalam era demokrasi, tidak lagi berdasarkan atas keturunan yang dibangun dengan segala cara.

Agaknya, budaya dinasti ini merupakan turunan langsung dari sistem kapitalisme yang mengunggulkan nilai materi, hingga semua hasrat yang diinginkan dapat dibayar berapa pun juga harganya.

Ironisnya, partai politik yang menjadi idola sebagai taman demokrasi bertumbuh dan berkembang sampai membuahkan kader-kader partai yang unggul dan tangguh justru kehilangan tempat.

Tampaknya, itulah penyebab muncul dan berkembangnya model politisi bajing loncat akibat kalah bertarung di dalam kandangnya sendiri. Sehingga alternatif pilihan melompat ke luar pagar partai politik yang dirasa telah membelenggu dirinya.

Padahal, partai politik harus menanamkan ideologi yang tangguh, tidak tergoda beralih haluan seperti makhluk luar yang tidak mempunyai tujuan.

Begitulah riwayat sistem politik dinasti di negeri kita boleh dikata bermula dari partai politik yang dikeloni oleh satu dinasti tanpa pernah bisa diubah — setidaknya sejak reformasi 1998 — ketika partai politik sungguh-sungguh dijadikan alat untuk merengkuh kekuasaan.

Bukan membangun kader dalam gairah kebersamaan untuk melahirkan pemimpin yang ideal untuk memenuhi kepentingan semua pihak, tetapi sekedar demi dan untuk diri dan keluarganya sendiri.

Jadi kegaduhan yang terjadi akibat pergesekan politik yang mempertajam tampilan kekuasaan dalam budaya dinasti.

Kekuasaan telah dijadikan obyek perebutan dengan menghalalkan segala cara. Partai politik pun yang setengah matang dapat dibeli melalui transaksi yang sangat gampang. Pendek kata, ada uang ada barang.

Oleh karena itu, tak pelak banyak muncul pemimpin karbitan yang berdiri diatas tumpukan uang, bukan kekuatan moral anggota partai dan simpatisannya yang berminat belajar politik dengan sopan santun dan etika serta moral dengan akhlak mulia sebagai manusia yang patut menjadi panutan.

Karena itu agak sulit menyebut sejumlah partai yang relatif kuat — umumnya secara finansial — yang mau melakukan penggantian kekuasaan, sehingga kekuasaan tanpa batas itu sempat menjadi wacana kepemimpinan nasional di negara kita.

Toh, pada masa Orde Lama dahulu sempat diberlakukan untuk jabatan Presiden Indonesia jadi seumur hidup. Meski pada era demokrasi yang dijunjung tinggi di negeri ini.

Wacana untuk jabatan Presiden masih tak dianggap tabu dan memalukan untuk diperpanjang, seperti permainan dari sepak bola yang harus diwujudkan dalam bentuk kemenangan.

Akibatnya, inilah yang terjadi di luar lapangan permainan, pertarungan terus berlanjut seakan tiada akhir hingga harus menekan banyak korban.

Dalam perseteruan tentang ijazah — sebagai kamuflase untuk terus tampil dipermukaan — telah menelan banyak korban. Jika sungguh nanti harus berakhir di pengadilan, jelas berbagai pihak akan menjadi korban.

Mulai dari institusi pendidikan yang menjadi sasaran, sampai sejumlah tokoh yang memberi kesaksian yang dianggap hoax, karena tidak benar dari realitas yang sesungguhnya.

Paparan ini sekedar isyarat untuk semua pihak menahan diri untuk tidak memberi kesaksian palsu. Sehingga gugatan terhadap institusi pendidikan yang terlanjur tersuruk masuk dalam kubangan perseteruan yang terjadi jelas memiliki konsekuensi logis yang sangat besar nilai pertaruhannya.

Setidaknya dari kegaduhan yang tak kunjung mereda akan membuat banyak pihak kehilangan muka. ( Jacob Ereste )


Spread the love

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *