Subang,Jawa Barat,-elangmasnews.com – Sebuah temuan mengejutkan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Jawa Barat mengguncang proyek-proyek pembangunan di Kabupaten Subang.
Ditengah perayaan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2024 yang diraih Subang tujuh tahun berturut-turut, BPK justru menyoroti adanya kekurangan volume belanja modal jalan, irigasi dan jaringan. Sebuah indikasi serius yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) ini telah dilaksanakan di Kantor BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jawa Barat, Eydu Oktain Panjaitan, melalui Humas BPK, menjelaskan bahwa meskipun pemeriksaan bertujuan memberikan opini kewajaran, bukan berarti BPK menutup mata.
“Jika pemeriksa menemukan adanya penyimpangan, kecurangan atau pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, khususnya yang berdampak adanya potensi dan indikasi kerugian negara, maka hal ini harus diungkap dalam LHP,” tegasnya.
Kini, ‘borok’ itu terungkap dalam proyek infrastruktur Subang.
Misteri Dibalik Proyek Jalan dan Irigasi: Kuantitas Kurang, Uang Hilang?
Mencermati siaran pers BPK, maka dapat disimpulkan bahwa temuan kekurangan volume belanja modal jalan, irigasi dan jaringan ini, bukan sekedar angka di atas kertas, melainkan cerminan nyata adanya potensi pemborosan dan ketidakberesan dalam penggunaan anggaran.
Artinya, pekerjaan fisik yang seharusnya dikerjakan, seperti panjang jalan yang diaspal atau dimensi saluran irigasi yang dibangun, tidak mencapai kuantitas yang telah direncanakan.
Bayangkan, jika anda membayar penuh untuk 1 kilometer jalan dengan ketebalan 5 cm, namun yang terealisasi di lapangan hanya 800 meter atau dengan ketebalan 3 cm. Selisih inilah yang menjadi persoalan serius bagi BPK.
Apa Implikasinya?
Kerugian Keuangan Negara: Uang rakyat yang dibayarkan tidak mendapatkan nilai sepadan. Ada bagian pembayaran yang seolah ‘menguap’ tanpa wujud fisik.
Kualitas Infrastruktur Buruk: Jalan yang cepat rusak, irigasi yang tidak berfungsi optimal, atau jaringan yang tidak stabil. Ini artinya, infrastruktur yang dibangun tidak akan tahan lama dan berpotensi membebani APBD untuk perbaikan lebih cepat.
Sinyal Kuat Praktik Curang: Temuan ini adalah alarm keras akan kemungkinan adanya pemalsuan laporan progres, kesepakatan kolusif antara kontraktor dan oknum pejabat, atau pengawasan proyek yang sangat lemah.
Bagi BPK, masalah ‘kekurangan volume’ adalah sinyal merah bahwa ada inefisiensi besar dalam penggunaan anggaran belanja modal, berpotensi merugikan keuangan negara, dan mengindikasikan adanya praktik yang tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pembangunan infrastruktur public.
WTP Ditengah Borok: Sebuah Ironi yang Membutuhkan Jawaban
Ironisnya, di tengah temuan serius ini, Subang tetap meraih opini WTP. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, laporan keuangan pemerintah daerah dianggap wajar dalam penyajiannya, namun tidak berarti bebas dari permasalahan yang perlu ditindaklanjuti.
BPK menemukan kekurangan volume ini melalui verifikasi fisik di lapangan, pengukuran ulang, dan perbandingan detail dengan dokumen kontrak serta laporan pembayaran.
Kini, bola ada di tangan Pemerintah Kabupaten Subang. Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, pejabat wajib menyampaikan tindak lanjut rekomendasi kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.
Masyarakat Subang kini menanti langkah konkret dari Pemkab dan DPRD. Akankah temuan BPK ini ditindaklanjuti secara transparan dan akuntabel, ataukah “kekurangan volume” ini akan tetap menjadi misteri yang merugikan rakyat Subang ?
(Hrn.Tim/Red)