Tafsir Sifat dan Sikap dalam Cermin Filsafat Eksistensi — Sebuah Kritik Terhadap Jacob Ereste Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS.

Tafsir Sifat dan Sikap dalam Cermin Filsafat Eksistensi — Sebuah Kritik Terhadap Jacob Ereste Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS.
Spread the love

Tafsir Sifat dan Sikap dalam Cermin Filsafat Eksistensi — Sebuah Kritik Terhadap Jacob Ereste Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS.

Oleh: Rizal Tanjung

Sumatera Barat,-elangmasnews.com – Tulisan Jacob Ereste tentang “Sifat dan Sikap Dalam Dimensi Spiritual Yang Sakral” menyuguhkan semacam renungan eksistensial yang melankolis dan berusaha meneguhkan makna spiritualitas sebagai inti dari keberadaan manusia.

Namun, apabila gagasan-gagasannya ditimbang dalam timbangan para filsuf Yunani, Romawi, dan Islam, maka tampaklah sebuah medan diskursus yang belum sepenuhnya disentuh oleh Ereste: konflik antara menjadi dan berada, antara logos dan ethos, antara determinisme batin dan kebebasan akal Sifat sebagai “Esensi” — Kritik dari Aristoteles dan Al-Farabi

Jacob menyatakan bahwa sifat adalah siapa kita yang sesungguhnya — pernyataan yang menyerupai postulat esensialisme. Namun, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics justru menempatkan ethos (karakter) bukan sebagai entitas bawaan, tetapi sebagai kebiasaan yang dibentuk melalui tindakan berulang. Manusia bukan sekadar apa adanya, tetapi apa yang ia lakukan berulang kali.

> “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.”

Berangkat dari prinsip ini, sifat tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang mutlak melekat, melainkan harus dipahami dalam dialektika antara potensi dan aktualisasi (dunamis dan energeia).

Al-Farabi, sejalan dengan Aristoteles, memandang karakter manusia sebagai sesuatu yang dapat ditata melalui latihan rasional dan pendidikan spiritual. Dalam sistemnya, manusia bukan semata-mata makhluk spiritual, tapi juga makhluk akli (al-insān al-‘āqil).

Maka, ketika Ereste menekankan bisikan batin dan suara hati sebagai pusat sifat dan sikap, ia seolah mengabaikan unsur rasional yang menjadi pilar pembentuk moral dalam filsafat Islam.

Sikap sebagai Cermin Kesadaran — Ujian dari Epiktetos dan Miskawayh

Jacob mengatakan sikap adalah hasil dari pilihan sadar, dan karenanya mencerminkan nilai moral seseorang. Pernyataan ini beresonansi dengan Epiktetos, filsuf Stoik dari Yunani-Romawi, yang mengajarkan bahwa manusia tak dapat mengendalikan peristiwa, tetapi ia berdaulat penuh atas cara ia menanggapi dunia.

> “It is not events that disturb people, it is their judgments concerning them.”

Namun, Epiktetos juga menekankan bahwa sikap bukan hanya soal kesadaran spiritual, tetapi hasil latihan mental dan pengendalian hasrat. Spiritualitas yang tidak dibarengi disiplin logos akan rapuh — seperti kapal tanpa kemudi yang digerakkan gelombang perasaan semata.

Miskawayh, filsuf etika dari dunia Islam, bahkan menguraikan bahwa sikap (khuluq) terbentuk dari keseimbangan antara akal, syahwat, dan ghadhab (amarah). Maka, kesadaran sikap dalam Islam bukan hanya “suara hati”, tetapi juga hasil dari tazkiyah al-nafs (penyucian diri) lewat akal yang jernih dan pembiasaan terhadap kebaikan. Ereste, dalam mengangkat spiritualitas tanpa menyandingkan peran akal secara sejajar, menyederhanakan kedalaman filsafat etika Islam klasik.

Eksistensi dan Proses Menjadi — Tantangan dari Socrates hingga Ibn Sina

Pernyataan Ereste yang paling ambisius adalah pada bagian penutup: bahwa spiritualitas “bukan mengutamakan hasil, tetapi proses menjadi agar dapat terus terjadi.” Ini merupakan gema dari filsafat eksistensial, yang dalam versi pra-modernnya dapat dilacak ke Socrates — yang percaya bahwa hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak dijalani.

Socrates tak berhenti pada proses menjadi, tetapi menekankan mengapa proses itu terjadi: demi mencapai kebajikan (arete). Ereste berbicara seolah proses itu berdiri sendiri tanpa teleologi — tanpa tujuan final. Di sinilah muncul kegamangan: menjadi untuk menjadi, tanpa memperjelas apa yang patut dicapai.

Ibn Sina (Avicenna), menyodorkan gagasan wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (hakikat). Dalam sistemnya, manusia memiliki potensi rasional ilahiah yang memungkinkan transendensi — dari eksistensi jasmaniah menuju realitas akal murni. Proses menjadi, dalam pandangan ini, hanya berarti bila ia bermuara pada aktualisasi intelek. Ereste, sayangnya, tak menyinggung dimensi itu — ia berhenti pada romantika batiniah tanpa mengarahkannya menuju kesempurnaan eksistensial yang dimaksud para filsuf.

Spiritualitas Tanpa Logos — Sebuah Kegamangan

Gagasan Ereste terlalu berat sebelah pada batin dan intuisi, seolah spiritualitas adalah taman bunga yang tak perlu disirami logika. Namun dalam seluruh tradisi filsafat besar — dari Plato hingga Al-Ghazali — suara hati yang murni justru harus diuji, disaring, dan diarahkan oleh akal.

Plato, dalam Phaedrus, melukiskan jiwa sebagai kereta yang ditarik oleh dua kuda: hasrat dan kemauan baik, sementara kusirnya adalah akal. Bila akal tak mengendalikan, maka jiwa akan terseret oleh kuda-kuda liar itu. Sikap dan sifat yang tak melewati pengujian akal akan jatuh ke dalam ilusi.

Kritik dari Dalam, Renungan untuk Lebih Dalam

Tulisan Ereste menghadirkan kesungguhan spiritual, namun dalam terang filsafat, ia seperti bangunan indah tanpa fondasi logika. Ia ingin menjadikan sifat dan sikap sebagai puisi batin, namun lupa bahwa batin pun harus diuji dalam nyala api akal — sebagaimana diajarkan para filsuf besar dari Athena, Roma, hingga Baghdad.

> Sebab manusia bukan hanya makhluk yang merasa, tapi juga makhluk yang berpikir dan menimbang — logos anthropou daimōn, kata Herakleitos: akal adalah takdir manusia.

Dalam tafsir filsafat, spiritualitas bukan sekadar bisikan batin, melainkan kehendak yang dibimbing oleh kearifan, diuji oleh akal, dan dipahat dalam tindakan. (**)


Spread the love

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *