Jakarta, elangmasnews.com,- 15 Juli 2025 — Sebuah komunikasi budaya yang penuh empati dan kejujuran terjalin antara Jacob Ereste, Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS, dan Uda Rizal Tanjung, seorang penulis dari Sumatra Barat yang menyebut dirinya sebagai “seorang lelaki biasa.” Surat terbuka dari Rizal Tanjung yang dikirimkan melalui WhatsApp pada 11 Juli 2025 menggugah batin Jacob Ereste, hingga akhirnya beliau memutuskan membagikan surat tersebut secara terbuka kepada masyarakat, seraya mengajak publik untuk ikut merenungkan maknanya.
Dalam suratnya, Uda Rizal Tanjung menyampaikan pertanyaan sederhana namun sarat makna: “Untuk apakah semua tulisan itu, Pak, Engkau kirimkan dan tujukan kepadaku?” Sebuah pertanyaan yang muncul bukan dari kecurigaan, tetapi dari ketulusan dan kegelisahan batin seorang penulis yang hidup dalam keterbatasan namun tetap setia pada kata.
Rizal Tanjung, yang mengaku menulis dari ponsel bekas seharga lima ratus ribu rupiah, menggambarkan kehidupannya yang bersahaja—hidup dari bantuan sosial, menulis tanpa menyimpan hasil karya, dan mengekspresikan suara-suara batinnya dalam diam. Ia menyebut dirinya bukan sastrawan, bukan budayawan besar, melainkan manusia biasa yang hanya ingin hidup lebih tenang di antara huruf-huruf yang sesak dalam dada.
Dalam responsnya, Jacob Ereste menyatakan bahwa ia sempat merenungkan dalam-dalam makna surat tersebut sebelum memutuskan untuk membagikannya kepada publik. Menurutnya, surat Rizal Tanjung bukan hanya cermin pribadi seorang penulis yang jujur dan rendah hati, tetapi juga menjadi refleksi sosial atas kenyataan getir yang dialami banyak pegiat budaya di negeri ini—mereka yang dikenal luas, tetapi tetap hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian.
“Saya tidak menemukan kesimpulan yang lebih penting selain ingin berbagi kesan dan pesan, siapa tahu ada netizen yang berkenan memberi saran bagaimana sikap yang lebih bijak untuk memahaminya,” tulis Jacob Ereste.
Surat budaya yang mesra ini, dengan gaya tutur puitis dan hati yang terbuka, menunjukkan bagaimana kata-kata dapat menjadi jembatan antar hati, bukan senjata. Di tengah dunia yang serba gaduh dan penuh prasangka, komunikasi yang dilandasi rasa hormat dan empati seperti ini menjadi sangat langka, sekaligus berharga.
Jacob Ereste berharap publik dapat mengambil pelajaran dari surat terbuka ini—bahwa kadang, kejujuran yang sederhana justru menyentuh paling dalam. Ia juga mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap para penulis, budayawan, dan penggiat literasi yang sering kali berkarya dalam senyap, tanpa sorotan dan penghargaan yang layak.
Sebagaimana tertulis dalam penutup surat Rizal Tanjung:
“Saya hanya ingin bertahan hidup di dunia yang begitu cepat melupakan manusia-manusia kecil seperti saya.”
Surat ini bukan sekadar komunikasi pribadi, melainkan juga sebuah testimoni kebudayaan: tentang ketulusan, perjuangan, dan keikhlasan dalam menulis, meskipun dalam kesunyian.