Baturaja,Elangmasnews.com, Aksi mimbar bebas menolak kenaikan tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang digelar Front Perlawanan Rakyat (FPR) bersama Parlemen Jalanan di depan Gedung DPRD Ogan Komering Ulu (OKU), Senin (15/9/2025), berakhir ricuh. Aksi damai tersebut dibubarkan secara paksa oleh sekelompok orang tak dikenal yang diduga kuat merupakan centeng penguasa daerah.
Dalam rekaman video yang beredar luas, salah satu dari oknum pembubaran bahkan terdengar melontarkan seruan bernada rasis, menyinggung asal daerah peserta aksi. Ucapan itu memicu kemarahan publik, karena dinilai sebagai provokasi SARA yang dapat menyulut konflik horizontal di tengah masyarakat.
Ketua LSM HARIMAU OKU, Kadarudin, mengecam keras tindakan intimidasi sekaligus ujaran rasis tersebut. Menurutnya, pembungkaman suara rakyat dengan cara-cara kasar merupakan bentuk kemunduran demokrasi.
“Mereka menyampaikan aspirasi yang jelas dilindungi undang-undang. Menolak kenaikan tarif PDAM adalah hal wajar, karena kebijakan itu membebani rakyat kecil. Justru premanisme yang dibiarkan merajalela itulah yang mencederai demokrasi,” tegas Kadarudin.
Ia juga menyoroti sikap aparat keamanan yang berada di lokasi namun tidak bertindak menghentikan aksi intimidasi. “Aparat seharusnya netral, hadir melindungi rakyat, bukan membiarkan tekanan dari kelompok sipil bayaran. Pemakaian premanisme ini berbahaya jika menjadi pola dalam mengelola konflik,” ujarnya menambahkan.
Kadarudin mendesak agar kasus ini diusut tuntas, baik di DPRD maupun jalur hukum. Ia menilai keterlibatan pihak yang diduga dekat dengan bupati sangat merusak legitimasi pemerintah daerah. “Rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan. Ini alarm keras: ruang demokrasi kita makin menyempit,” tandasnya.
Sementara itu, Koordinator Aksi, Zikrullah, menilai insiden tersebut sebagai bukti nyata praktik premanisme politik di OKU. “Kami diintimidasi, hak rakyat dilanggar. Kami tidak akan tinggal diam dan siap menempuh langkah hukum,” ujarnya.
Aksi FPR yang sejak pukul 10.30 WIB berlangsung tertib dengan orasi dan pembacaan petisi, mendadak ricuh saat kelompok misterius itu datang mengusir massa. Ironisnya, polisi yang berjaga hanya berdiam diri tanpa sikap tegas menghadapi tindakan brutal tersebut. Situasi ini semakin memperkuat kritik publik bahwa demokrasi di OKU tengah dikebiri.
Penulis: *[ M.TOHIR ]*.