Praktisi Hukum Desak Penindakan terhadap Kades Sukorejo Yang Diduga Provokatif dan Ajak Kades lain Gebuki Wartawan
NGANJUK // JAWA TIMUR, Elangmasnews.com Sebuah video berdurasi 2 menit 38 detik yang diunggah oleh akun TikTok milik Suarajatim.com memicu polemik publik. Dalam video tersebut, Kepala Desa Sukorejo, Sutrisno, menyampaikan pernyataan yang dinilai provokatif dan berpotensi melanggar hukum. Ia secara terbuka mengajak seluruh Kepala Desa di Kabupaten Nganjuk untuk menolak kehadiran media dan LSM dari luar daerah.
“Kalau ada wartawan atau LSM dari luar kota datang, jangan takut, jangan risih. Temui saja, tapi minta KTP-nya. Kalau dia tanya soal birokrasi, tolak saja. Media tidak punya kewenangan,” ujar Sutrisno dalam video tersebut.
Tak berhenti di situ, Sutrisno juga menyatakan bahwa kepala desa berhak menolak wawancara dari media dan menyarankan agar wartawan mencari narasumber lain. Ia bahkan menyampaikan ajakan yang dinilai ekstrem dan mengarah pada kekerasan.
“Kalau wartawan itu bertanya, berarti ada sesuatu. Kalau dia ngeyel, apalagi tidak menunjukkan KTP, langsung teriaki maling saja. Kalau perlu, kita gebukin di situ, enggak apa-apa, aku ikut tanggung jawab,” tegasnya.
Pernyataan tersebut menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk praktisi hukum dan pegiat kebebasan pers.
Secara hukum, tindakan menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan:
• Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
• Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, termasuk melalui media.
• Pasal 170 KUHP, yang mengatur ancaman pidana bagi pelaku kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama di muka umum.
Ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap wartawan, apalagi disampaikan oleh seorang pejabat publik, berpotensi dikategorikan sebagai hasutan yang melanggar hukum pidana dan etika pemerintahan.
Pernyataan Sutrisno dinilai mencederai prinsip negara hukum dan demokrasi. Dalam sistem pemerintahan yang menjunjung keterbukaan, media memiliki peran penting sebagai kontrol sosial dan penyampai aspirasi publik. Menolak kehadiran media tanpa dasar hukum yang jelas, apalagi mengajak tindakan represif, merupakan bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers.
Koalisi Masyarakat Sipil dan organisasi jurnalis di Jawa Timur mendesak aparat penegak hukum untuk segera menyelidiki pernyataan tersebut dan meminta pertanggungjawaban hukum dari yang bersangkutan.
“Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers dan perlindungan terhadap wartawan di lapangan,” ujar salah satu aktivis pers yang enggan disebutkan namanya.
Media Destara mengimbau agar Pemerintah Kabupaten Nganjuk dan instansi terkait segera melakukan evaluasi terhadap pernyataan tersebut. Klarifikasi dari pihak yang bersangkutan sangat diperlukan untuk mencegah kesalahpahaman dan potensi konflik di lapangan.
Kepala desa adalah ujung tombak pelayanan publik di tingkat lokal. Pernyataan yang mengarah pada kekerasan dan pengabaian hukum tidak hanya mencoreng institusi pemerintahan desa, tetapi juga mengancam tatanan demokrasi yang telah dibangun bersama. *[Hms. FORPIMNAS]*
Berikut transkrip lengkap Pernyataan Sutriano:
“ _Jadi gini temen-temen khusunya Kepala desa se-Kabupaten Nganjuk saya mau menyampaikan baru-baru saja ya, kemarin satu bulan dua bulan yang lalu teman-teman kan banyak yang kedatangan dari yang mengaku media maupun LSM yang dari luar kota. Jangan ketakutan, jangan risih temui saja untuk sementara tapi tanyakan identitasnya terutama KTP diminta itu KTP-nya, kalau KTP-nya itu diminta setelah itu ditanyakan tujuannya apa, kalau dia menanyakan hal-hal tentang kita birokrasi kita itu ditolak saja. Jadi tidak punya kewenangan untuk itu, saya tanggung jawab untuk menyampaikan itu karena apa itu bukan hak mereka kalau dia memang betul-betul seorang media, dia tuh enggak perlu tanya ke kita, kita punya hak untuk menolak itu dia harus cari dulu narasumber di luar kita, nggak perlu tanyak, kalau sudah nanya kita itu berarti ada tanda kutip ada sesuatu, jangan takut. Kalau dia ngeyel apalagi dia tidak mengeluarkan KTP langsung teriaki MALING saja. Kalau perlu kita gebukin di situ, enggak apa-apa aku ikut tanggung jawab. Jadi intinya teman-teman jangan takut ya jangan takut sama media-media yang tidak kita kenal dari luar oke. Jangan dia terus menunjukkan kartu anggota, saya dari media. KTP yang diminta karena negara kita itu yang paling sah untuk sementara adalah KTP. yang lain-lainnya itu bisa dibikin gimana aja itu aja terima kasih”_
(Hms. FORPIMNAS/ Tim)