Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Kecurangan dan Keculasan Telah Menjadi Budaya Yang Mengancam Karakter Bangsa Indonesia

Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Kecurangan dan Keculasan Telah Menjadi Budaya Yang Mengancam Karakter Bangsa Indonesia
Spread the love

Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Kecurangan dan Keculasan Telah Menjadi Budaya Yang Mengancam Karakter Bangsa Indonesia

Banten // Elangmasnews.com // Memang praktek kecurangan jika tidak dikoreksi dan dikritik keras akan menjadi karakter bangsa. Akibatnya, seperti korupsi yang dibiarkan membaik dan beranak-pinak sudah menjadi budaya di Indonesia yang paling menonjol dan menghebohkan.

Karena cara melakukan korupsi di Indonesia sudah dianggap kuno jika cuma mengentit dana proyek atau anggaran yang digelontorkan pemerintah melalui pengadaan barang atau alat pendidikan dan kantor atau pakaian seragam hingga Bansos atau proyek infrastruktur besar yang menelan biaya gede duitnya,tapi sungguh tidak mendesak pemanfaatannya.

Seperti sejumlah Bandar Udara, Jalan Kereta Api Cepat dan Ibu Kota Nusantara yang dipaksakan terkesan sangat dipaksakan itu, sehingga patut mengundang banyak pertanyaan yang penuh kecurigaan.

Hukum yang rusak parah mulai dari rancangan dan pembahasannya di DPR RI — yang konon sudah bisa diijonkan sebelum rancangan undang-undang itu disahkan, telah menjadi cara baru mengumpulkan pundi-pundi secara tidak halal.

Seperti yang terjadi dalam berbagai kasus bisnis ilegal, narkoba, minyak goreng, BBM hingga izin perkebunan yang bisa merambah hutan — dengan modus pembiaran — semua telah dijadikan cara mengumpulkan duit yang tidak halal itu.

Model kecurangan lain yang berdasarkan penyelewengan kekuasaan atau pun jabatan adalah dalam modern jual-beli jabatan. Kebaikan pangkat dengan setoran tarif tertentu memang tidak merugikan rakyat atau negara secara langsung, tapi telah membuat bobroknya etika, moral dan akhlak dalam mengelola negara yang dikomersialkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Demikian juga kesan dengan menjual pasir laut — atau bahkan pulau kepada orang asing apalagi negara asing — sungguh sangat biadab dan tengil hingga pantas dikutuk oleh seluruh rakyat sampai tujuh keturunannya.

Begitulah Ikhwal dari kerusakan yang terjadi di negeri ini,bukan dilakukan oleh orang bodoh dan disebabkan oleh mereka yang pandir, tetapi justru dilakukan oleh mereka yang terbilang intelektual, sudah kaya raya, namun masih kemaruk serta abai terhadap etika, moral dan akhlak mulia yang telah diajarkan dan dintuntun oleh agama.

Bahkan, saat menjabat pun, mereka semua disumpah atas nama Tuhan ketika itu, namun seusai sumpah dan pelantikan untuk menduduki jabatan tertentu pikiran para pejabat di Indonesia sekarang langsung jelalatan mencari celah untuk secepat mungkin bertambah kaya raya.

Sebab bila tidak, tak hanya keluarganya yang gerundelan terhadap kegagalannya untuk memperkaya diri, tapi juga bagaimana kesuksesannya untuk mendistribusikan beragam proyek yang bisa segera menghasilkan banyak uang, tak hanya untuk keluarga, tapi juga bagi semua kroni dan pendukungnya mulai dari relawan hingga kawan yang dahulu memberikan dukungan.

Karena itu dalam budaya korupsi berjemaah pun di Indonesia melampaui perkembangan yang sangat pesat dibandingkan dari sejumlah negara terkorup di dunia.

Karena di Indonesia pun model massa penggembira– supporting moral — menjadi trend tersendiri berikut sejumlah buzzer untuk mendukung membangun opini serta pencitraan yang anggun dan mempesona.

Maka itu, gelar palsu serta berbagai bentuk asesoris pulau pun menjadi bagian dari model budaya mutakhir pada habitat bisnis hingga habitat politik yang sudah ikut diperdagangkan seperti komoditas hukum maupun peradilan.

Akibatnya, memang tak hanya membuat rakyat menjadi bingung dan stress, tapi juga terbawa arus deras yang menggiring rakyat ikut masuk dalam pusaran kekuasaan yang bisa dilakukan atas nilai kekayaan.

Karena itu, money politik sekedar pertanda awal dari berbagai praktek kecurangan yang dianggap elegan. Semua bis dibayar — termasuk hukum dan ancaman penjara dari keculasan yang telah menjadi bagian dari budaya korupsi, sogok menyogok, penyelewengan jabatan dan kekuasaan.

Karena yang terjadi sekarang justru antar koruptor itu sendiri tidak hanya membuat sebuah group, tapi lebih merupakan sindikat yang setara kuat dengan gang mafia, karena sesama koruptor pun dapat saling menyandera.

Bahkan dipenghujung aksi para koruptor yang sudah lebih jauh melampaui pasca budaya berjemaah sekarang ini, ada yang mampu mengelola para koruptor itu tetap nyaman dengan menyediakan sejumlah upeti tertentu pada setiap waktu tertentu pula.

Jadi kait mengait antara koruptor dengan aparat penegak hukum dan petugas pemberatan tindak pidana korupsi tampak membangun semacam koalisi baru — dalam mutualisme — untuk saling menjaga, bahkan memelihara agar praktek korupsi dapat terus berlanjut langgeng dan lancar.

Karena itu, sejumlah koruptor tampak seperti memiliki kesaktian tertentu, sehingga selalu gagal untuk dikerangkeng dan segera dikirim ke Nusa kambangan.

Ibarat penyelundup, pengedar dan aparat penegak hukum yang bertugas untuk melakukan pemberantasan, bagaimana mungkin bisa ikut terlibat, jika tidak karena etika, moral dan akhlaknya sungguh bobrok.

Persis semacam petugas penjara yang bis hidup mewah dari konsesi yang diberikan kepada bandar narkoba untuk mengendalikan usahanya dari dalam penjara, atau lembaga pemasyarakatan.

Toh, ruang tahanan bagi pesakitan tertentu bis dibuat lebih mewah dari tempat tinggal rakyat kebanyakan di negeri ini. (**)


Spread the love

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *