Banten, elangmasnews.com,- 8 April 2023 – Sebuah pamplet usang yang tergantung di pagar gedung parlemen menjadi simbol bisu dari jeritan hati rakyat yang kian lama tak terdengar. Dalam narasi puitis yang menggugah, Jacob Ereste, Dewan Penasehat DPP Elangmas, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi rumah rakyat yang kini terasa semakin jauh dari rakyat itu sendiri.
Tulisan tersebut menggambarkan transformasi gedung parlemen dari simbol demokrasi menjadi bangunan megah yang angkuh dan menakutkan. Rakyat, yang seharusnya menjadi pemilik sah dari institusi itu, kini hanya bisa berdiri di luar pagar berlapis kawat berduri, tak mampu lagi menyampaikan suara, apalagi harapan.
“Entah sejak kapan rumah rakyat itu tak lagi boleh disinggahi oleh rakyat,” tulis Jacob. Ia menyesalkan bagaimana janji dan sumpah para wakil rakyat yang dilantik atas nama rakyat, kini justru dilupakan. Aspirasi rakyat diabaikan, bahkan keluhan tentang listrik yang mencekik, upah buruh yang murah, dan pendidikan yang makin mahal pun tak digubris.
Dalam pamplet itu, Jacob juga menyindir gaya hidup para wakil rakyat yang sibuk bergunjing soal kendaraan mewah di tengah rapat penting yang seharusnya membahas nasib rakyat. Ia mempertanyakan nilai-nilai yang dijunjung oleh para penghuni gedung legislatif, yang kini lebih sibuk menjaga gengsi ketimbang martabat rakyat yang diwakilinya.
“Mitos rumah rakyat itu telah usang dan lapuk,” tulis Jacob, menuding parlemen telah menjadi tempat transaksi, bukan lagi pusat aspirasi. Ia bahkan menyebut bahwa peredaran uang di gedung tersebut lebih liar dari yang terjadi di Departemen Keuangan atau Dirjen Pajak.
Pamplet yang tersisa itu, menurut Jacob, mungkin ditulis oleh mahasiswa, buruh, atau pemuda yang tak bisa melanjutkan pendidikan karena mahalnya biaya kuliah. Meski tak diketahui siapa penulis sebenarnya, isinya menggambarkan luka kolektif rakyat kecil yang semakin terpinggirkan.
Jacob menutup narasinya dengan refleksi tajam, “Rumah rakyat tidak pernah dimaknai sebagai rumah Tuhan. Meski suara rakyat terus dieksploitir sebagai suara Tuhan.” Ia menyentil ironi bahwa rakyat lebih takut pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketimbang pada Tuhan, karena KPK tak bisa diajak kongkalikong.
Tulisan ini menjadi cerminan kegelisahan publik terhadap sistem demokrasi yang tak lagi berpihak pada rakyat. Dan pamplet yang tergantung di pagar parlemen itu, menjadi simbol bahwa suara-suara kecil tetap berusaha menembus dinding kekuasaan—meski tak dijawab, tak disapa, dan mungkin sengaja diabaikan.(Red)