Menikmati Karya Puisi Leni Marlina Yang Menginspirasi dan Mencerahkan
Oleh : Jacob Ereste (Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS)
Banten,-elangmasnews.com // Pemerintah Provinsi di Indonesia yang tampak memberi apresiasi yang baik dan bagus bagi karya sastra dan sastrawan, tampaknya tak banyak, kecuali Sumatra Barat. The Third International Minang Kabau Literacy Festival (IMLF-3) ini tentu saja tidak mudah dan tidak murah ongkosnya.
Sementara hari ini semua instansi — tak hanya yang bergantung pada pemerintah — tengah melakukan efisiensi anggaran, akibat kondisi ekonomi yang tak kunjung sembuh.
Leni Marlina dinobatkan sebagai Penulis Berprestasi 2025 bersama Ramli Djafar. Gelar yang disematkan — sebagai penulis profilik — bukan saja karena mereka sebagai anggota SatuPena, Sumatra Barat yang aktif dan gigih bersastraria melalui berbagai media.
Acara IMLF-3 sudah terbilang untuk yang ketiga kalinya dilakukan, pertama pada tahun 2023, dan tahun 2024, lalu sekarang, tahun 2025. Hasil kerja gotong royong penyelenggaraan ILMF seperti yang dilakukan pada edisi ketiga pada 8-12 Mei 2025 melibatkan berbagai pihak yang dikomando oleh Satu Pena Sumatra Barat, semacam Asosiasi Penulis Indonesia Sumatra Barat sebagai penggagas.
Lalu cawe-cawe yang bagus dari Denny JA Foundation yang memposisikan sebagai penyandang dana serta moral dan mungkin juga kekuatan spiritual. Bahkan ada juga dukungan dari Sumber Talenta Indonesia, Amin Foundation, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Barat dan Pemerintah Kota Padang serta Pemko Bukit Tinggi.
Menyimak keguyuban sejumlah instansi pendukung dan cawe-cawe dalam hajat besar ini, sungguh menerbitkan rasa iri dan kecemburuan, karena dari pemerintah daerah di tempat kami — tak segayeng dan seasyik yang dilakukan pemerintah di Sumatra Barat.
Kerjasama multi sektor ini untuk satu tema Words Without Walls : Language, Literature and Culture for Peace ini perlu semakin diperluas dan digalakkan agar dapat memprovokasi daerah lain yang loyo dan melempem bergiat dalam bidang tulis menulis yang lebih beragam sifat dan bentuknya, tak cuma sastra atau puisi.
Sebab untuk membangun kesadaran dan kecerdasan segenap anak bangsa dapat diwujudkan juga melalui artikel, cerpen, kritik sastra dan kritik sosial dan lain-lain, sehingga habitat tulis menulis bisa meliputi segenap spektrum ilmu, pengetahuan serta pengalaman yang mampu menghantar anak bangsa Indonesia menuju masa depan yang semakin banyak tantangannya.
Karena itu, sebagai contoh penghargaan terhadap media sosial atau media digital yang telah memberi andil dalam kegiatan dan semangat mengusung karya sastra dengan segenap jenis dan rupanya, patut mendapat penghargaan yang layak juga.
Sejumlah karya Leni Marlina pun bisa mendapat gelar profilik jelas karena jasa media online atau sejenis media lainnya yang tak kalah besar jasa dan etos kepahlawanannya di jagat kepustakaan negeri mengering dan gersang, seperti metaforanya Ebiet G. Ade.
Karya seorang dosen sekaligus penyair yang cukup produktif sungguh banyak dan tidak sedikit yang bisa dinikmati — setidaknya dalam memompa ide dan semangat untuk ikut aktif dan terus menulis meski nyaris tiada imbalannya dalam bentuk finansial.
Seperti karyanya yang berjudul “Di Balik Senyum Ibu”, “Rahim Yang Menggugurkan Batu” sehingga mengingatkan pada sejumlah penyair wanita Indonesia lainnya, Toeti Heraty, Hera Kundang, Dewi Lestari, Dhorothea Rosa Herliany dan Denok Kristianti yang sempat muncul dan kini seperti sedang tenggelam dalam keasyikan diri mereka sendiri.
Tapi karya Leni Marlina yang menyuarakan bisik perempuan pun semburat dalam “Mawar Hati”….Ibuku, menyusup dalam angin yang mengusap lembut, mengingatkanku akan cinta kasihmu yang murni….
Begitu urai puisinya yang ditulis 16 tahun silam di Baso, Agam, Sumatra Barat. Artinya, Leni Marlina sudah cukup lama berpuisiria. Hanya saja publikasi belum maksimal dimanfaatkan.
Lain cerita, kalau puisi itu sendiri hendak dijadikan anak pingitan, atau seperti tradisi penyair China klasik, seusai rampung menuliskan karyanya terus dia hanyutkan di sungai.
Seperti dampak tradisi penyair Jepang klasik sebagai bagian dari ritual berpuisi model kuno, sebab dengan begitu pesan yang ada di dalam puisi itu akan bersatu dengan alam. Sungguh sakral dan sangat sarat nilai-nilai spiritual. (*)
Banten, 18 Juni 2025