Banten, elangmasnews.com,- 6 Juni 2025 – Praktik korupsi di Indonesia dinilai sudah begitu sistemik dan kompleks, bahkan melibatkan berbagai lini kekuasaan, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Pemerhati sosial-politik Jacob Ereste menggambarkan kondisi ini seperti ban kendaraan yang sudah bocor keliling—terlalu banyak tambalan, sehingga tidak lagi layak dipertahankan.
Menurut Ereste, upaya pemberantasan korupsi selama ini terhambat karena aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan justru banyak yang ikut terlibat. Dari proses penyelidikan, penyidikan hingga persidangan, seringkali muncul indikasi permainan untuk melindungi pelaku korupsi.
“Pelaku korupsi kini semakin lihai, melibatkan buzzer dan aktor-aktor bayaran untuk mengalihkan perhatian publik, bahkan melakukan serangan balik terhadap tuduhan yang diarahkan kepada mereka,” kata Ereste dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (6/6).
Ia menyoroti sejumlah kasus besar yang masih berjalan di tempat, seperti dugaan manipulasi BBM di Pertamina, penyalahgunaan dana CSR Bank Indonesia, hingga skandal penerbitan sertifikat tanah di kawasan pesisir Tangerang, Banten. Ereste menilai, penanganan kasus-kasus tersebut terkesan maju-mundur tanpa arah yang jelas.
Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2024 mencatat sedikitnya 39 kasus korupsi yang melibatkan kementerian atau lembaga negara. Survei Penilaian Integritas (SPI) juga mengungkap bahwa 90 persen kementerian dan lembaga masih terlibat dalam praktik suap dan gratifikasi, khususnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
Tak hanya itu, Ereste juga menyoroti minimnya transparansi terhadap kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum. Meski Kepolisian RI mengklaim telah mengungkap 1.280 kasus dugaan korupsi dengan 830 tersangka pada 2024, tidak ada rincian berapa banyak anggota polisi yang ikut terseret.
“Data Ombudsman dan KPK dalam satu dekade terakhir menunjukkan, banyak jaksa dan aparat penegak hukum yang terlibat suap, kolusi, dan pelanggaran etik. Ini membuat publik makin pesimistis terhadap reformasi hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ereste menyoroti keterlibatan anggota legislatif dalam berbagai skandal korupsi, seperti suap proyek perkeretaapian, penyelewengan dana hibah pertanian di Garut dan Tasikmalaya, serta kasus pembelian gas oleh BUMD di Sumatra Selatan. Beberapa anggota DPR RI periode 2019–2024 bahkan sudah divonis, termasuk dalam kasus pembangunan Masjid Sriwijaya.
Namun, proses hukum terhadap sebagian besar tersangka lain masih belum menunjukkan kejelasan. “Padahal, 21 anggota DPR RI terpilih periode 2024–2029 sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi kelanjutannya tidak jelas,” ujar Ereste.
Ia menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen membrangus korupsi tanpa pandang bulu, namun menekankan bahwa dukungan masyarakat tetap krusial. “Pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil jika masyarakat ikut aktif, bukan sekadar menjadi penonton.”
Sebagai solusi, Ereste menegaskan perlunya reformasi menyeluruh. “Ban yang sudah bocor keliling dan penuh tambalan sebaiknya diganti. Sama halnya dengan sistem dan aktor-aktor korup yang sudah tidak bisa dibenahi—harus diganti demi menyelamatkan bangsa dari wabah korupsi yang menular dan mematikan,” pungkasnya.(Red)