Ketika Perpanjangan SIM C di Binjai Jadi Ladang Bisnis Di Mana Integritas Polri?
Binjai – Elangmasnews.com – Apa jadinya jika pelayanan publik yang seharusnya menjadi wajah profesionalisme Polri justru berubah menjadi ajang “tarif bebas”? Kasus dugaan pungutan liar di Satpas Satlantas Polres Binjai bukan sekadar persoalan nominal ini soal moralitas, integritas, dan kepercayaan publik yang terus terkikis.
Bagaimana mungkin biaya resmi perpanjangan SIM C yang hanya Rp75.000 bisa melambung menjadi Rp450.000 tanpa ada yang merasa bersalah? Bukankah PP Nomor 76 Tahun 2020 sudah menegaskan bahwa pungutan di luar ketentuan tersebut adalah pelanggaran hukum?
Seorang warga Binjai, yang baru saja memperpanjang SIM-nya, mengaku dengan nada getir:
> “Ya bang, baru saja selesai perpanjangan SIM C. Rp450 ribu saya diminta mereka. Segitu yang mereka pinta, saya kasih,”
ungkapnya kepada awak media, Senin (6/10/2025).
Pernyataan itu terdengar sederhana, tapi maknanya menghantam keras nurani publik. Jika fakta di lapangan seperti ini terus dibiarkan, maka fungsi pengawasan internal Polri — termasuk Propam — patut dipertanyakan. Di mana pengawasan? Di mana moralitas institusi yang selalu menggaungkan slogan Presisi itu?
Fenomena seperti ini bukan baru pertama kali terjadi. Di banyak daerah, Satpas kerap dijadikan ladang “tambahan” bagi oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan atau keterpaksaan masyarakat. Alih-alih memberikan pelayanan profesional, justru muncul mental “jual jasa” di balik meja pelayanan.
Apakah ini bentuk modernisasi pelayanan publik yang dijanjikan? Atau justru transformasi diam-diam dari “pelayan rakyat” menjadi “pedagang jasa” berseragam?
Ketika rakyat harus merogoh kocek enam kali lipat dari tarif resmi, itu bukan sekadar pungli — itu adalah penghinaan terhadap hukum dan logika keadilan. Masyarakat yang datang dengan niat baik justru pulang dengan kecewa, merasa diperas oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya kontrol internal jika tidak diiringi komitmen moral dari pimpinan. Kapolres Binjai tidak boleh diam. Propam Polda Sumut pun wajib turun tangan, bukan hanya untuk mencari kambing hitam, tapi untuk membedah akar sistemik yang melahirkan praktik semacam ini.
Polri kerap menggaungkan semangat reformasi birokrasi, pelayanan publik bebas pungli, dan digitalisasi sistem SIM. Namun, realita di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya: praktik lama masih hidup di bawah meja, hanya berganti kemasan.
Slogan Polri Presisi akan kehilangan makna jika di Satpas saja rakyat masih harus “membayar lebih” untuk hak administratifnya. Pembiaran terhadap praktik semacam ini sama saja dengan mengkhianati mandat institusi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Publik tidak butuh klarifikasi basa-basi. Mereka butuh tindakan nyata. Kapolres Binjai dan jajaran Propam Polda Sumut harus segera menindak tegas siapapun yang terlibat, tanpa pandang bulu.
Jika Polri ingin memulihkan kepercayaan publik, maka momentum ini harus dijadikan titik balik: bersihkan Satpas dari aroma bisnis kotor dan kembalikan marwah pelayanan publik yang profesional, transparan, dan berintegritas.
(TIM)