PINRANG,ElangMasNews.Com,Kasus dugaan pelemparan truk pengangkut material di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, terus menuai polemik. Enam warga ditetapkan sebagai tersangka, sementara seorang pengawas tambang yang juga pensiunan TNI mengalami luka di kepala. Namun, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pinrang mengembalikan berkas perkara (P19) karena dinilai minim bukti. Di sisi lain, upaya mediasi antara warga dan pelapor gagal terlaksana karena diduga adanya tekanan dari pihak tertentu.
Kuasa hukum para tersangka, Adv. H. Kalfin Gantare, S.H., M.H., C.HL., yang ditemui wartawan di salah satu warkop di Pinrang pada Sabtu (8/11/2025), menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari laporan sopir truk bernama Irfan terkait dugaan pelemparan kendaraan. Laporan tersebut langsung direspons aparat Brimob yang mengamankan dua warga, HA dan RD, meski keduanya saat itu sedang memperbaiki atap rumah dan tidak berada di lokasi kejadian. Barang bukti berupa katapel disebut bukan alat untuk menyerang, melainkan digunakan warga untuk berjaga malam.
Penangkapan tersebut menimbulkan kerumunan karena warga menilai tindakan aparat tergesa-gesa. HA yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dermawan di Paleteang membuat warga merasa tidak terima atas penangkapannya. Situasi semakin memanas ketika seorang pria bernama Samad, pensiunan TNI berpangkat Mayor yang disebut sebagai pengawas tambang milik H. Arsyad, datang ke lokasi dan melontarkan kalimat bernada menantang hingga memicu dorong-mendorong. Dalam peristiwa itu, Samad mengalami luka di kepala.
Setelah kejadian tersebut, Samad membuat laporan ke Polres Pinrang atas luka yang dialaminya. Namun, menurut kuasa hukum, tidak ada upaya mediasi dari pihak Samad kepada warga maupun keluarga tersangka. Sebaliknya, warga telah berusaha melakukan pertemuan dengan pihak pelapor utama, bahkan ibu kandung Irfan disebut telah menyetujui pencabutan laporan. Akan tetapi, keesokan harinya, keluarga pelapor membatalkan pencabutan tersebut karena diduga adanya tekanan dari atasan pelapor yang merupakan pemilik truk.
Berkas perkara enam tersangka, termasuk HA, RD, dan BL, telah dilimpahkan ke Kejari Pinrang. Namun, kejaksaan mengembalikan berkas (P19) dengan alasan bukti yang belum memadai, unsur pidana belum terpenuhi, serta adanya salah satu tersangka yang tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP). Pengembalian berkas tersebut memperlihatkan lemahnya proses penyidikan awal dan menimbulkan pertanyaan mengenai dasar penetapan tersangka yang dilakukan penyidik.

Menurut Adv. Kalfin Gantare, pengembalian berkas perkara menunjukkan bahwa penetapan tersangka patut dipertanyakan. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebelum seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan harus dilakukan jika terdapat bukti permulaan yang cukup. Dalam kasus ini, HA dan RD tidak berada di lokasi kejadian serta tidak tertangkap tangan, sehingga dasar penangkapan dinilai lemah.
Kuasa hukum juga menilai penanganan kasus ini kurang menunjukkan netralitas aparat. Turunnya pasukan Brimob dalam kasus yang tergolong ringan menimbulkan pertanyaan, terlebih kehadiran Samad di lokasi penangkapan yang menimbulkan dugaan intervensi. Sementara laporan Samad terkait luka di kepala ditindaklanjuti dengan cepat, laporan dan hak warga yang ditangkap justru terabaikan. Hal ini dinilai berpotensi menimbulkan kesan keberpihakan dalam penegakan hukum di daerah tersebut.
Secara terpisah, Ketua LSM FP2KP (Forum Pembangunan dan Pengawas Kinerja Pemerintah), Andi Agustan Tanri Tjoppo, menegaskan bahwa proses hukum harus dikawal oleh masyarakat sipil. “Proses hukum harus dikawal oleh aktivis, LSM, pers, mahasiswa, dan masyarakat. Jangan sampai ada pembenaran dalam penegakan hukum. Jika ada dugaan salah tangkap atau penyidik tidak bekerja sesuai norma hukum, Propam Polda Sulsel harus menindak tegas. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, bukan pembenaran,” ujarnya.
Jurnalis: (TimRed).
*EMN.TIM*











