Karawang – elangmasnews.com,- Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menyarankan agar kepala dinas menyampaikan informasi langsung lewat media sosial tanpa melibatkan media massa menuai kecaman keras dari komunitas pers. Pernyataan tersebut dinilai bukan hanya merendahkan profesi jurnalis, tetapi juga mencerminkan sikap antidemokrasi dari seorang pejabat publik.
Dalam forum diskusi terbuka yang digelar Senin (7/7/2025), insan pers Karawang yang terdiri dari pemimpin redaksi, jurnalis, dan aktivis organisasi media, sepakat mengambil langkah tegas: boikot total terhadap segala bentuk pemberitaan mengenai Dedi Mulyadi.
“Kalau Gubernur tidak mengakui eksistensi media, buat apa kita mempublikasikan aktivitasnya? Ini bukan sekadar pernyataan ngawur, ini serangan terhadap kebebasan pers,” ujar Mr. KiM, CEO Lintaskarawang.com dan aktivis senior Karawang yang memimpin jalannya diskusi.
Pernyataan Dedi yang menyarankan agar informasi publik cukup disebar melalui kanal pribadi pejabat di media sosial, dianggap sebagai upaya membungkam kontrol independen dari media. Para jurnalis menilai, pernyataan tersebut mengingkari fungsi pers sebagai watchdog kekuasaan dan pengemban amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Deklarasi Boikot dan Tanda Tangan Kolektif
Boikot yang diputuskan insan pers Karawang ini bukan simbolik semata. Dalam forum tersebut, seluruh peserta menandatangani Deklarasi Boikot Dedi Mulyadi yang berisi penolakan mutlak terhadap segala bentuk peliputan, pemberitaan, penyiaran, atau penyebaran informasi terkait gubernur tersebut. Boikot akan diberlakukan hingga Dedi Mulyadi mencabut pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada komunitas pers.
Isi deklarasi itu tegas:
> “Kami tidak akan menayangkan, memuat, atau menyebarkan informasi, program, maupun aktivitas apapun dari Dedi Mulyadi. Sampai klarifikasi dan permintaan maaf resmi dikeluarkan, sikap kami tetap: boikot!”
Pers Bukan Alat Kekuasaan
Romo, jurnalis senior Karawang yang turut hadir, menilai pernyataan gubernur sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang membahayakan demokrasi.
“Pers itu bukan pelengkap, bukan penggembira. Kita dilindungi oleh konstitusi. Kalau institusi sekuat pers saja dianggap tidak penting, maka ini alarm bahaya bagi demokrasi kita,” tegasnya.
Langkah tegas ini dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi pengkerdilan media yang kian marak di era digital. Jurnalis menolak dipinggirkan oleh narasi yang memanfaatkan media sosial untuk melewati proses verifikasi, pengawasan, dan pertanggungjawaban publik.
Gelombang Solidaritas Meluas
Boikot dari Karawang diprediksi hanya awal dari gelombang yang lebih besar. Sejumlah organisasi wartawan di wilayah Jawa Barat dilaporkan tengah mengkaji langkah serupa. Solidaritas terhadap jurnalis Karawang menguat, seiring kesadaran kolektif bahwa pelemahan media adalah ancaman langsung terhadap kebebasan berpendapat dan hak publik atas informasi.
“Ketika pejabat publik justru memusuhi media, publik berhak curiga: apa yang sedang disembunyikan?” pungkas Mr. KiM.
Catatan Redaksi: Pers sebagai pilar keempat demokrasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan integritas informasi publik. Upaya untuk membungkam atau melemahkan peran media bukan hanya persoalan etika, melainkan juga pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi. (Red)