BANTEN, elangmasnews.com,-22 Juli 2025 — Puisi esai berjudul “Nyanyian Luka Untuk Azwan Manday” karya Dokter Farhaan Abdullah Sp.THT-KL mengundang perhatian dan pujian dari kalangan pecinta sastra, termasuk dari tokoh budaya dan penasehat DPP Elangmas, Jacob Ereste. Lewat narasi yang sederhana namun menyentuh, Farhaan merangkai kenangan panjang, luka batin, hingga kontemplasi spiritual dalam balutan bahasa puitis yang khas.
Jacob Ereste menilai karya Farhaan memiliki kedalaman spiritual dan simbolisme yang kuat. “Bahasanya sederhana tapi tidak mengabaikan selera estetik dalam perangkaian kata. Ia menggambarkan sosok Azwan kini sebagai bagian dari angin, bagian dari doa, dan bagian dari puisi yang tak akan pernah selesai ditulis selama jantung kenangan masih berdetak,” tulis Ereste dalam ulasan reflektifnya.
Puisi esai tersebut merupakan catatan kenangan Farhaan atas sahabat karibnya, Azwan Manday, yang telah berpulang. Dalam bait-bait puisinya, Farhaan mengisahkan perjalanan hidup, persahabatan semasa kuliah kedokteran, hingga perjalanan profesi mereka sebagai dokter—Farhaan sebagai dokter militer dan Azwan sebagai dokter di berbagai pelosok Nusantara.
Jacob Ereste juga mengapresiasi narasi Farhaan yang membentangkan rentang waktu dari masa muda hingga masa pensiun, termasuk sisi psikologis dari perpisahan dan kesepian yang menyertainya. Ereste menyebut puisi tersebut sebagai bentuk pengobat dahaga bagi pencinta sastra yang merindukan karya penuh kejujuran, spiritualitas, dan pengalaman nyata.
“Azwan pergi, begitulah aku menulis puisi ini bukan untuk menjahit luka, karena ada luka perlu dibiarkan untuk menandai keabadian.” – kutipan ini menjadi penanda betapa karya Farhaan bukan sekadar puisi kenangan, melainkan rekaman eksistensial yang menggugah kesadaran akan misteri kematian, serta puncak-puncak spiritualitas manusia.
Jacob juga menyebut bahwa potensi Farhaan dalam dunia sastra patut ditunggu, terutama jika sang dokter semakin menekuni jalur kepenyairan. Ia meyakini bahwa Farhaan bisa menjadi salah satu cahaya sastra Indonesia yang kini sedang mencari napas baru di tengah arus zaman yang semakin pragmatis.
“Puncak-puncak dalam dimensi spiritual juga menggumpal dalam misteri kematian,” tutup Jacob Ereste dalam catatan kritik sastranya yang mendalam.(Red)