Dituding Giring Opini dan Sebar Provokasi? Agus Sitohang Nilai Kuasa Hukum Gagal Paham Soal Status Perkara.
Batubara-Sumatera Utara, Elangmasnew.com –
Polemik tanah di Desa Tanjung Muda, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batu Bara, belum juga reda. Setelah publik dihebohkan dengan dugaan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) tanpa tanda tangan sempadan oleh PJ Kepala Desa Muhammad Nuur Saragih, SH, kini perdebatan merambah ke ranah pemberitaan media dan tafsir hukum.
Ironisnya, bukannya fokus pada penyelesaian pokok masalah — yaitu dugaan maladministrasi dan penyerobotan lahan justru muncul serangan balik terhadap media dan lembaga kontrol sosial.
Berawal dari pemberitaan di Spirit Revolusi Nusantara yang mengangkat dugaan pelanggaran SOP oleh PJ Kepala Desa Tanjung Muda, pihak kuasa hukum Deddy Azhar melalui kantor KHO & Partners justru menuding bahwa berita tersebut tendensius, memprovokasi, dan menggiring opini publik.
Pihak kuasa hukum menilai pemberitaan itu merugikan klien mereka karena disebut-sebut “menyerobot lahan” milik Sardianus Nainggolan. Padahal, menurut mereka, laporan polisi yang dibuat oleh Sardianus bukan pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah, melainkan Perppu Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin.
Namun tudingan terhadap media ini langsung ditanggapi keras oleh Agus Sitohang, Ketua LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Kabupaten Batubara, yang juga pendamping pelapor dalam kasus tersebut.
Kepada wartawan, Agus Sitohang menilai bahwa pernyataan kuasa hukum yang menuding media “memprovokasi” justru memperlihatkan ketidakpahaman mereka terhadap status perkara yang sedang berjalan.
> “Kuasa hukum terlalu jauh menilai pemberitaan. Mereka keliru paham. Apa yang diangkat media justru bersumber dari fakta di lapangan, hasil pengukuran resmi Polres Batubara, dan dokumen laporan polisi. Ini bukan opini liar, tapi realita yang terjadi,” tegas Agus Sitohang.
Agus menegaskan, keberadaan media dan lembaga sosial seperti LSM adalah bagian dari fungsi kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Maka, ketika ada dugaan maladministrasi dalam penerbitan SKT, itu wajar dan sah secara hukum untuk diberitakan dan dikritisi.
> “Jangan dibalik seolah media dan LSM menggiring opini. Justru pemberitaan ini bentuk tanggung jawab publik terhadap tata kelola pemerintahan desa. Kalau SKT diterbitkan tanpa tanda tangan sempadan, itu pelanggaran SOP. Titik,” ujarnya tajam.
Agus juga menilai bahwa hak jawab yang dikirim oleh pihak KHO & Partners tidak mencerminkan kepentingan publik, melainkan sekadar upaya membela citra pejabat dan mengaburkan substansi perkara.
> “Bantahan mereka bukan untuk meluruskan kepentingan publik, tapi untuk menyelamatkan posisi hukum kepala desa dan kliennya. Kalau benar-benar ingin jujur, mereka seharusnya bicara di atas data resmi, bukan membangun narasi emosional yang justru menutupi pokok masalah,” sindirnya.
Agus menambahkan, inti persoalan bukan soal siapa yang benar dalam konflik keluarga antara Sardianus dan Juandus, tetapi bagaimana mungkin sebuah SKT bisa diterbitkan ketika tanda tangan sempadan belum lengkap dan proses mediasi belum final.
> “Ini soal administrasi pemerintahan, bukan soal keluarga. Ketika pejabat desa menerbitkan SKT tanpa tanda tangan sempadan, itu jelas cacat hukum dan berpotensi pidana. Jangan dibelokkan jadi drama keluarga,” tegas Agus Sitohang.
LSM KCBI menegaskan bahwa media dan masyarakat berhak tahu bagaimana proses administratif sebuah SKT diterbitkan. Sikap defensif dan tudingan terhadap media justru memperlihatkan bahwa ada upaya menutup ruang transparansi publik.
> “Kalau memang tidak ada pelanggaran, tunjukkan bukti administratif yang sah. Jangan justru menyerang media dan LSM yang menjalankan fungsi kontrol. Itu bentuk mental feodal birokrasi yang belum siap dikritik,” lanjut Agus.
Ia juga menilai, langkah kuasa hukum yang memutarbalikkan konteks pemberitaan dan menyeret istilah hukum tanpa memahami status perkara dan pasal sangkaan dalam laporan polisi adalah bentuk gagal paham terhadap mekanisme penegakan hukum.
Dalam konteks demokrasi, media memiliki hak dan kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada publik, terutama terkait penggunaan kewenangan pejabat publik. Tuduhan provokasi terhadap media hanya akan memperkeruh situasi dan menunjukkan minimnya literasi hukum dan etika komunikasi publik dari pihak tertentu.
Agus Sitohang menegaskan, Spirit Revolusi Nusantara tidak berbuat salah ketika mengangkat fakta penerbitan SKT tanpa tanda tangan sempadan, karena berita tersebut didukung oleh data lapangan dan keterangan pihak kepolisian.
> “Kalau tidak ingin diberitakan, ya jangan buat kebijakan yang janggal. Media bekerja untuk publik, bukan untuk memihak siapapun,” tutup Agus Sitohang.
Dari rangkaian peristiwa ini, tampak jelas bahwa akar persoalan bukan semata soal sengketa batas lahan, tetapi tata kelola administrasi desa yang lemah, komunikasi hukum yang emosional, dan mental pejabat yang alergi terhadap kontrol publik.
Menyerang media bukan solusi, sebab kebenaran administratif tidak lahir dari opini hukum yang disusun rapi di atas meja, melainkan dari data objektif dan integritas pejabat dalam menjalankan SOP.
Dan jika dugaan cacat administrasi terbukti, maka persoalan ini bukan lagi sekadar sengketa warga tetapi bisa menjadi indikasi pelanggaran wewenang pejabat desa yang pantas diproses secara hukum. (*)







