Dewan Penasehat Spirutal DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Mengulik Nilai-nilai Kearifan Lokal Dari Darmo Gandul, Kitab Ila Galigo Hingga Sarak Basandi Kitabullah.
Banten,-elangmasnews.com – Sabdo Palon dan Noyo Genggong adalah tokoh spiritualis dalam budaya Jawa, juga dikenal sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang memerintah antara tahun 1453-1478. Catatan dalam Serat Darmo Ghandul dan Serat Sabdo Palon Noyo Genggong maupun dalam ramalan Jangka Jayabaya banyak disebut lebih rinci dan lugas.
Sehingga dapat dipelajari intisarinya yang relevan dengan kondisi dan situasi Indonesia hari ini yang semakin jauh melupakan masa kejayaan masa silam suku bangsa Nusantara.
Termasuk peninggalan besar kerajaan Sriwijaya di Sumatra maupun warisan Kerajaan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur, di tepi Muara Kaman, sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kutai Martadipura yang mengembangkan Hindu-Buddha namun kemudian bertransformasi menjadi Kesultanan Islam pada abad ke -16.
Namun jauh sebelum itu di Jawa Barat telah berdiri Kerajaan Galuh pada tahun 669 Masehi dengan lokasinya berada di daerah Ciamis, sekarang. Lalu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda pada abad 10 hingga abad 16 Masehi.
Jadi kesinambungan atau keterkaitan sejarah suku bangsa Nusantara — yang memiliki kearifan lokal untuk dapat dijadikan landasan spiritual dan sangat kebangsaan Indonesia hari ini dalam pergaulan global antar bangsa-bangsa di dunia.
Kerajaan Sunda Pajajaran sebagai penerus dari Kerajaan Galuh, juga dikenal dengan sebutan Pakuan Pajajaran yang berpusat di Kota Bogor sekarang.Jadi, Pajajaran merupakan wujud persatuan dan kesatuan dari politik serta budaya Galuh dan Sunda.
Meski kedua budaya ini memiliki ajar yang sama, karena keduanya berasal dari satu rumpun suku bangsa di Tatar Sunda (Jawa Barat), namun ada perbedaan dalam sejarah dan budaya. Galuh yang berpusat di Ciamis dan Pasundan Pajajaran di Bogor.
Galuh lebih khas mengedepankan nilai-nilai aristokratis dan sistem kerajaan yang kuat, sementara Sunda Pajajaran lebih modern dan terbuka serta Egaliter memiliki karya seni yang beragam mulai dari sastra lisan hingga pantun dan tembang.
Begitulah, tokoh Sabdo Palon dan Noyo Genggong menjadi semacam simbol peralihan nuansa spiritual dan budaya dari Hindu-Bhudda ke Islam, sebagaimana peralihan yang terjadi pada Kerajaan Kutai Kertanegara dan Majapahit.
Serat Darmo Gandul sendiri — yang acap dikaitkan dengan tokoh spiritual Nusantara — memberi arahan hidup agar tidak sampai tersesat dari jalan yang benar. Kecuali itu, melalui kitab Darmo Gandul diharap bisa membangun tatanan yang harmoni antara manusia, alam dan Tuhan.
Karena itu Serat Darmo Gandul — selain sebagai karya sastra Jawa kuno, juga sarat memuat ajaran moral (spiritual) dan filsafat hidup yang banyak mengurai masalah Budi pekerti, nilai-nilai kebijaksanaan serta tuntunan untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh kesadaran serta tanggung jawab, tak hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada manusia dan alam lingkungan.
Serat Darmo Gandul pun memuat pesan-pesan bijak tentang cara bagi setiap orang untuk menjaga kehormatan, berperilaku baik dalam masyarakat dan memegang teguh ajaran dan tuntunan spiritual agar dapat hidup selaras dengan alam semesta dan Sang Pencipta.
Itulah sebabnya, pejabat yang korup, khianat, menyeleweng dan menyalahgunakan wewenang serta jabatan maupun kekuasaannya, jelas dan pasti tidak pernah membaca — apalagi hendak menghayati — tuntunan dari kitab Darmo Gandul yang masih acap dianggap klenik yang juga dianggap dapat menyesatkan siapa saja yang membaca serta tersebut.
Padahal, banyak mutiara hikmah yang terdapat di dalam berbagai kitab peninggalan leluhur suku bangsa Nusantara ini yang belum dipetik dan dinikmati manfaatnya.
Persis seperti Kitab Ila Galigo dari Suku Bangsa Sulawesi Selatan yang sangat kaya mengandung ilmu pengetahuan yang belum mampu dimanfaatkan nilai-nilai filosofis yang menempatkan norma sosial sebagai penakar kehormatan dan harga diri manusia yang mulia.
Dunia atas (penguasa jagat raya), dunia tengah (manusia) dan dunia bawah (roh) sebagai landasan hidup yang religius dan harmoni.
Begitu juga dengan kearifan lokal yang menjadi prinsip dasar suku bangsa Minangkabau dalam hidup bermasyarakat, berpegang kuat pada tuntunan dan ajaran agama, seperti Sarak Basandi Kitabullah, sebagai filsafat hidup yang bersandar pada Al Qur’an.
Sehingga adat, hukum serta tatanan sosial dan budaya harus selaras dan sejalan dengan syariat Islam. Sebab kekayaan energi milik bangsa dan negara Indonesia tidak cuma listrik, bukan pula sebatas sumber daya mineral.
Tetapi energi yang ada dalam kearifan lokal yang tak tertanam di dalam perut bumi, tetapi Bertebar dalam bentuk kekayaan kepustakaan masa lampau yang kini diabaikan itu.
Begitulah tatanan harmoni yang terkandung dalam budaya suku bangsa Nusantara, nilai-nilai kearifan lokal patut dieksploitasi dan dieksplorasi lebih banyak ketimbang sumber energi yang ada di perut bumi.
Seperti sumber daya mineral yang mengumbar ketamakan dan kerakusan hingga membuat kegaduhan serta kecemasan akibat abai pada tatanan harmoni lingkungan serta kepentingan warga masyarakat setempat.
Begitulah ideologi kapitalisme — duniawi — telah mengubur nilai-nilai warisan para leluhur para leluhur suku bangsa Nusantara yang idealis, filosofis yang sesungguhnya tidak materialistik.
(**)
Stasiun Kota, 13 Juni 2025