Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Spiritual Sebagai Upaya Mencari dan Menemukan Untuk Terus Mendekatkan Diri Kepada Tuhan

Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Spiritual Sebagai Upaya Mencari dan Menemukan Untuk Terus Mendekatkan Diri Kepada Tuhan
Spread the love

Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS Jacob Ereste : Spiritual Sebagai Upaya Mencari dan Menemukan Untuk Terus Mendekatkan Diri Kepada Tuhan

Banten,-elangmasnews.com – Setiap orang dapat melakukan perjalan spiritual untuk mencari dan menemukan hingga kemudian dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagi mereka yang tidak beragama pun, dapat saja melakukan perjalanan spiritual, namun tidak mungkin bisa lebih baik dan cepat dari mereka yang telah memiliki basis keagamaan yang kuat.

Akan tetapi, tidak sedikit mereka yang semula tidak beragama serta tidak percaya kepada Tuhan, justru dapat menemukan serta lebih intens dan serius melakukan perjalan spiritual tanpa pernah lelah, sehingga dapat lebih tawaduk dan Istiqomah menekuni tuntunan dan ajaran agama dengan baik dan benar.

Yang kemudian etika, moral dan akhlak mulia sebagai manusia tampak semburat dari wajah kebahagiaannya yang tenang dan tenteram, seperti telaga dari mata air yang jernih dan menyejukkan.

Belajar dari para filsuf yang memiliki karya setara Ibnu Sina yang hidup pada tahun 980 hingga 1047 telah mengurai tentang mistik dan simbolik seperti “Hayy Ibn Yawzan menyelami kedalaman rohani untuk mengetahui hal yang paling hakiki.

Ia pun dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam yang menjembatani antara dunia Timur dan Barat. Eksistensinya membuktikan bahwa Islam dan Ilmu pengetahuan bisa bersatu dalam kerangka logika dan spiritualitas. Bahkan Ia menunjukkan bahwa akal dan iman bisa berjalan seiring menuju kebenaran universal.

Sedangkan Al Farabi yang beranjak dari akar filsafat Islam klasik menegaskan bahwa akal sebagai jalan menuju kebenaran, tanpa menafikan wahyu.

Dia juga mengkritik pendekatan yang memisahkan agama dan filsafat. Karena filsafat dan agama menurut dia mengarah pada kebenaran yang sama.

Dia mengakui filsuf dan Nabi adalah dua wujud manusia yang unggul. Bedanya hanya dalam metode saja: filsuf lewat akal sedangkan Nabi melalui Wahyu. Inti dari pemikiran Al Farabi hendak menyelaraskan akal, etika, seni dan Wahyu untuk kesempurnaan manusia.

Sosok guru besar Atisha Dipamkara Shrijnana pengajar dan pengembang spiritual yang hidup semasa dengan Ibnu Sina pada tahun 982- 1054 Masehi terkenal sebagai tokoh umat Bhudda dari India yang cukup berperan dalam kebangkitan ajaran Bhuddis di Tibet.

Lamrim sebagai inti dari ajarannya dikenal sebagai tahapan jalan menuju pencerahan. Ia menyusun ajaran Bhudda secara sistematis dari tingkat dasar hingga tingkat tertinggi.

Tiga landasan utama dari jalan spiritual diantaranya adalah renunciation (melepas keterikatan duniawi), Budhicitta (niat tulus mencapai pencerahan demi semua makhluk yang ada), dan pandangan tentang kekosongan (shunyata).

Kecuali itu ada juga Bodhicitta dan welas asih universal. Karena itu, Atisha menekankan latihan cinta kasih, welas asih dan bijaksana demi dan untuk seluruh makhluk yang hidup.

Bahkan, Atisha mengajarkan pula disiplin etika dan batin yang disebut lojong untuk menumbuhkan kesadaran dan pengendalian diri guna membersihkan batin dari berbagai kotoran.

Ajaran Atisha sangat kuat dalam tradisi Kadampa hingga menjadi semacam fondasi dari tradisi Gelug yang terus dikembangkan Tsongkhapa dan menjadi panutan Dalai Lama.

Yang menarik dalam konteks spiritualitas, semua agama percaya pada mukjizat sebagai wujud nyata dari kekuasaan Tuhan.

Dalam Islam misalnya, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penerima wahyu seperti dalam kejadian Isra Mi’raj — perjalanan satu malam dari Masjid Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem di Madinah langsung menuju ke langit yang ketujuh, Sidratul Muntaha untuk menerima perintah solat lima waktu dari Allah SWT.

Pengalaman spiritual ini dipercaya oleh Umat Islam hingga perayaan Isra dan Mi’raj selalu diperingati dalam tradisi umat Islam sampai sekarang. Begitulah jalinan erat rasionalitas, spiritualitas dan transendensi dalam lintas tradisi pemikiran besar agama-agama yang ada.

Dalam Kristen, Yesus dipercaya mampu menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang yang telah mati. Bahkan roti dan ikan jadi berlipat ganda untuk dimakan oleh banyak orang.

Dalam agama Hindu mukjizat para Dewa dan Avatar seperti Krishna mampu menunjukkan kekuatan Illahi dalam pertempuran Mahabharata serta berbagai kisah suci yang menunjukkan fenomena ghaib dan penyembuhan.

Sedangkan dalam agama Bhudda kisah tentang Sidharta Guatama mencapai pencerahan dalam melakukan kewajiban seperti mampu melayang di udara, menenangkan badai dalam kekuatan fibrasi spiritual yang maha tinggi.

Demikian juga dalam kepercayaan lokal di Nusantara, mukjizat dalam upaya penyembuhan mampu dilakukan melalui do’a dan jampi-jampi atau suatu kejadian yang luar biasa yang diyakini memperoleh restu dari para leluhur.

Jadi pada intinya hakikat dari mukjizat sungguh sangat mungkin terjadi ketika digunakan dengan baik dan untuk membantu kehidupan orang lain.

Sehingga, mukjizat dapat memperkuat kesadaran dan keyakinan dalam dimensi spiritual yang dimasuki melalui energi yang diperoleh dari agama.

Artinya, semua manusia yang beragama memiliki potensi untuk menjalani laku spiritual sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Meski begitu, toh mereka yang tidak beragama pun tidak ada larangan untuk menekuni spiritual, karena dengan begitu bisa jadi mereka yang tidak beragama itu akan memiliki kepercayaan dan keyakinan terhadap agama. (**)


Spread the love

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *