Banten, elangmasnews.com,- 15 Juli 2025 — Dalam forum diskusi daring yang diikuti berbagai kalangan lintas profesi dan usia, paparan dari Akang Benz Jono Hartono, seorang praktisi media massa sekaligus pendidik, menarik perhatian luas. Salah satu tokoh yang memberi apresiasi tinggi adalah Jacob Ereste, Dewan Penasehat Spiritual DPP LSM ELANG MAS, yang menyebut paparan tersebut sebagai refleksi mendalam dan mencerahkan tentang Islam dan dinamika sosial keumatan di Indonesia.
Akang Benz menyampaikan materi bertajuk *“Islam yang Mencerahkan”* dengan mengupas berbagai sisi kehidupan umat, mulai dari isu moral, pendidikan Islam, zakat, hingga relasi lintas agama dan budaya dalam konteks kebangsaan.
### Moral Tanpa Tauhid, Sebuah Catatan Kritis
Akang Benz mengawali dengan menyentil konsep “moral tanpa tauhid”, yang menurutnya adalah bentuk moralitas sosial yang kehilangan ruh ketuhanan. Ia menekankan bahwa moral dalam Islam harus bertumpu pada tauhid agar bernilai ibadah dan berorientasi akhirat. Tanpa itu, katanya, moralitas hanya menjadi etika temporer yang bisa berubah tergantung situasi dan kepentingan.
### Pendidikan Islam: Tak Hanya di Pesantren
Dalam paparannya, Akang Benz juga menegaskan bahwa pendidikan Islam bukan milik eksklusif pesantren. Ia menjelaskan beragam model pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari madrasah, sekolah Islam terpadu, pesantren modern, hingga perguruan tinggi Islam seperti UIN dan Ma’had Aly. Intinya, semua bentuk pendidikan itu bertujuan membentuk insan yang berilmu, berakhlak, dan bertauhid.
### Zakat dan Pajak: Penjelasan yang Perlu Dipahami
Salah satu poin menarik yang disampaikan adalah soal zakat dan perpajakan. Benz meluruskan persepsi publik bahwa zakat yang dikelola lembaga resmi seperti BAZNAS atau LAZ tidak dikenai pajak dan justru bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Namun, ia mengingatkan bahwa aktivitas non-zakat dari lembaga tetap tunduk pada regulasi pajak nasional.
### Simbol Agama dan Toleransi yang Semu
Benz juga menyoal soal eksklusivitas simbol agama dalam kehidupan publik. Ia menyesalkan kecenderungan sebagian umat untuk menolak sapaan lintas agama dalam acara formal maupun informal. Padahal, menurutnya, sikap semacam itu justru memperuncing perbedaan dan menghambat keharmonisan sosial.
### Islam Profetik dan Politik Simbolik
Mengutip semangat *Islam profetik* yang berkembang di Yogyakarta pada era 1980-an, Benz menyebutkan bahwa esensi Islam tidak perlu dibungkus dengan formalitas simbolik. Praktik dan perilaku nyata yang tidak merugikan orang lain serta membawa manfaat sosial jauh lebih penting daripada pencitraan religius semu.
Ia juga menyoroti jebakan pemujaan simbolik yang menurutnya justru menjauhkan umat dari esensi tauhid. Dalam konteks politik, Benz mengkritik keras peran hukum yang lebih berfungsi sebagai dekorasi kekuasaan ketimbang alat keadilan.
### Islam Kaffah dan Budaya Bangsa
Benz mengingatkan bahwa Islam di Indonesia telah berakulturasi sejak masa Sultan Agung di abad ke-16. Menyamakan Islam dengan budaya Arab, katanya, adalah kesalahan persepsi. Islam telah membentuk budaya Indonesia sendiri, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, sinkretisme budaya dan agama perlu dicermati agar tidak mengaburkan akidah.
### Kritik Tajam: “Mayoritas Islam, Hidup Dipersulit?”
Salah satu pernyataan paling tajam dari Benz adalah saat ia menyatakan, *“Selama NKRI penduduknya mayoritas Islam, maka semua sektor kehidupan dipersulit, hidup serba susah.”* Ungkapan ini memantik diskusi, apakah jumlah mayoritas umat Islam menjadi beban atau justru kekuatan? Ia menegaskan bahwa yang terpenting adalah meningkatkan kualitas umat, bukan hanya kuantitas.
### Pesan Akhir: Tugas Generasi Muda
Menutup paparannya, Akang Benz menyerukan agar generasi muda lebih berani bersuara dan tidak “melempem seperti kerupuk garing”. Ia menyebut tugas besar media sosial sebagai garda terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin dan melawan hoaks yang merusak akal sehat umat.
Jacob Ereste dalam tanggapannya menyebut paparan Benz sebagai kontribusi penting untuk mendorong umat Islam lebih reflektif, kritis, dan berorientasi pada kualitas. Ia berharap semangat edukatif dan pencerahan dari sosok seperti Akang Benz bisa menjadi suluh bagi generasi bangsa.
> *“Paparan yang skeptis tapi mencerahkan ini harus terus digelorakan, agar umat Islam tidak terjebak pada simbolisme kosong, melainkan kembali pada nilai-nilai esensial agama dan kemanusiaan,”* pungkas Jacob
*Reporter: Tim Redaksi ELANG MAS*
*Editor: J.E.D.*