Banten, elangmasnews.com,-20 Mei 2025 — Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak terjadinya peristiwa tragis 27 Juli 1996, yang dikenal luas sebagai Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Insiden berdarah itu bukan hanya catatan kelam dalam perjalanan politik Indonesia, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari mata rantai perlawanan yang berpuncak pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa.
Jacob Ereste, salah satu pelaku sejarah dan aktivis buruh dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), mengenang bahwa saat reformasi bergulir, banyak aktivis yang berada di puncak idealisme. Tak hanya sebagai saksi, mereka juga terlibat langsung dalam upaya menumbangkan rezim Orde Baru.
SBSI, di bawah kepemimpinan Dr. Muchtar Pakpahan—yang saat itu belum menyandang gelar profesor—adalah satu-satunya organisasi non-partai yang secara terbuka mendukung Megawati Soekarnoputri yang saat itu sedang berjuang mempertahankan kepemimpinannya di PDI. Dukungan ini diwujudkan dengan pendirian mimbar bebas di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, yang kemudian menjadi titik panas dari benturan antara rakyat dan rezim.
Kerusuhan merebak di berbagai kawasan Jakarta seperti Salemba, Kramat, hingga Rawamangun. Sejumlah gedung terbakar, kendaraan hancur, dan korban berjatuhan. Aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) bahkan dijadikan kambing hitam untuk membenarkan tindakan represif dari aparat. Tokoh-tokoh seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan telah lebih dulu dijebloskan ke penjara Cipinang.
Namun, lapis kedua pergerakan buruh dan aktivis muda terus bergerak. Tokoh-tokoh seperti Tohap Simanungkalit, Satrio Arismunandar, Dhea Yudha Prakesha, Sunarty dan Jacob Ereste sendiri menjadi motor penggerak yang menjadikan SBSI sebagai “rumah bersama” bagi berbagai elemen perlawanan—mulai dari LSM, ormas pemuda, hingga mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air.
Jacob juga menyebutkan kesaksian dari Benny S. Butarbutar dalam bukunya “Suyono Bukan Puntung Rokok”, serta sejumlah penelitian dari LIPI dan buku “Membongkar Misteri Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996”. Semua mengindikasikan adanya rekayasa kekuasaan yang berkaitan dengan konflik internal di tubuh PDI, khususnya persaingan antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), putri Soeharto.
Tragedi ini menjadi rangkaian peristiwa yang kemudian meledak menjadi gelombang reformasi, ditandai oleh pembunuhan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 dan kerusuhan besar di Jakarta hingga Soeharto akhirnya mengundurkan diri seminggu kemudian.
Kini, 27 tahun sejak peristiwa itu terjadi, Jacob Ereste mengajak masyarakat untuk menjadikannya sebagai pelajaran berharga. “Agar kita tidak mengulang kekeliruan dan kesalahan, atau sekadar kehilangan yang menandai kedunguan manusia,” tutupnya.(Red)