Medan Sumatera Utara,Elangmasnews.com – Ketua PKC PMII Sumatera Utara, Muhammad Agung Prabowo, menyampaikan kronologi lengkap sekaligus mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian terhadap aksi damai yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Sumut Bersatu, Rabu (27/8). Aksi yang diikuti oleh berbagai elemen mahasiswa seperti PMII, IMM, HIMMAH, HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, KAMMI, dan BEMNUS tersebut awalnya berlangsung dengan tertib dan penuh khidmat.
Menurut Agung, massa aksi yang berkumpul di depan gedung DPRD Sumatera Utara menyampaikan orasi-orasi kritis sebagai bentuk kekecewaan atas berbagai kebijakan DPR yang dinilai menyengsarakan rakyat. Dalam orasinya, mahasiswa sempat melemparkan tomat busuk ke arah gedung – bukan sebagai bentuk anarki, melainkan simbol perlawanan terhadap “busuknya” kinerja para wakil rakyat.
“Itu bukan tindakan kekerasan, itu simbol kemarahan rakyat. Tomat busuk yang dilemparkan hanyalah ekspresi kekecewaan atas pengkhianatan terhadap amanah rakyat,” tegas Agung.
Namun situasi berubah drastis saat adzan Ashar berkumandang. Massa aksi yang hendak menghentikan sementara kegiatan untuk melaksanakan ibadah justru dikejutkan dengan tindakan represif aparat kepolisian. Tanpa peringatan, aparat dengan perlengkapan lengkap—helm, perisai, dan pentungan—bergerak membubarkan massa secara brutal.
“Kami hanya membawa bendera dan semangat juang, sementara mereka datang dengan atribut lengkap, helm,perisai serta pentungan. Puluhan mahasiswa luka-luka, bahkan ada yang harus dilarikan ke rumah sakit. Ini bukan hanya mahasiswa, tapi rakyat kecil pun malah ikut jadi korban,” lanjut Agung.
Aksi damai itu juga berdampak pada pedagang kecil dan pelaku UMKM di sekitar lokasi. Gerobak mereka porak poranda, dagangan berserakan, dan beberapa di antaranya mengalami kerugian besar akibat kekacauan yang ditimbulkan oleh tindakan aparat.
Agung Prabowo menegaskan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup. Ia menuntut pertanggungjawaban penuh atas kekerasan yang terjadi dan mendesak kepolisian untuk membuka penyelidikan terhadap oknum yang terlibat.
“Ini soal keselamatan masyarakat yang menyampaikan aspirasi. Jangan biarkan demokrasi diinjak-injak oleh kekuasaan yang semena-mena. Kami akan terus bersuara,” pungkasnya.
Aksi yang seharusnya menjadi ruang dialog antara rakyat dan wakilnya, justru menjadi catatan kelam bagi demokrasi. Peristiwa ini kembali mengingatkan publik bahwa menyampaikan pendapat di muka umum, yang dijamin konstitusi, belum tentu mendapat perlindungan sebagaimana mestinya.
(Emn – S Hadi P./JP)