ElangMasNews.Com – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah terjemahan dari Non-Governmental Organization (NGO). Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Organisasi Non Pemerintah (ORNOP).
NGO muncul tahun 1960s/1970s sebagai reaksi terhadap DOMINANNYA PERAN NEGARA dalam pembangunan. Namun pada saat yang bersamaan KALANGAN MASYARAKAT BAWAH justru tak tersentuh atau bahkan menjadi KORBAN DARI IMPLEMENTASI AGENDA PEMBANGUNAN ITU SENDIRI dalam bentuk penggusuran lahan, upah buruh yang rendah, PHK sewenang-wenang, kerusakan lingkungan hidup, dll.
LSM tampil untuk mendampingi dan mengadvokasi MASYARAKAT BAWAH yang tak berdaya vis-à-vis negara dan korporasi (biasanya MNC, multinational corporation). Dalam mengadvokasi masyarakat bawah, LSM tidak saja melakukan advokasi secara litigasi-yuridis. LSM seringkali tampil dengan agenda advokasi struktural: mempertanyakan hal-hal yang dijadikan asumsi-asumsi dalam agenda pembangunan, menggugat corak dan arah kebijakan pembangunan yang seringkali lebih menguntungkan korporasi (MNC) demi mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengabaikan pemerataan [baca: keadilan sosial!]. Maka, tak jarang LSM harus berhadapan bahkan berseberangan dengan pemerintah.
Maka, rezim yang sedang berkuasa yang memang bercorak kapitalis dan ditopang oleh kekuatan militer seringkali menuduh LSM sebagai antek-antek komunis dan antek-antek asing. Dan, rezim yang berkuasa itu mengabaikan fakta bahwa dirinya jelas-jelas ditopang oleh konsorsium negara-negara donor dan oligarki MNCs.
Singkatnya, menjadi aktivis LSM pada masa Orde Baru sungguh bukan pilihan yang mudah dan pada umumnya tidak hidup nyaman, secara ekonomi maupun secara sosial-politik.
Kini, pada era pasca Orde Baru, LSM makin marak tumbuh di negeri ini. Agak mencengangkan bahwa entitas yang sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (Ormas) kini tampaknya lebih suka menyebut dirinya sebagai LSM. Secara kategoris memang Ormas adalah salah satu varian dari LSM. Secara sederhana kiranya dapat dikatakan bahwa ormas adalah suatu varian LSM yang lebih berorientasi pada penggalangan massa. Oleh karena itu, ormas secara organisatoris biasanya tampil lebih besar. Adapun yang dulu disebut sebagai LSM lebih berorientasi pada program, lebih ramping bahkan seringkali bercorak lokal, didominasi/digerakkan oleh kaum intelektual pro-rakyat yang terpinggirkan.
Saya menduga bahwa ormas-ormas masa kini lebih suka menyebut dirinya sebagai LSM disebabkan oleh dua hal. Pertama, ormas-ormas masa kini kesulitan dalam merumuskan ideologi yang dianutnya. Dan tidak begitu suka berafiliasi dengan partai-partai politik yang ada. Kedua, ormas-ormas masa kini ingin dipandang sebagai kaum intelek pro-rakyat sebagaimana LSM pada masa Orde Baru.
Pertanyaannya kini adalah: Apakah organisasi-organisasi yang muncul pasca Orde Baru yang menyebut dirinya sebagai LSM sungguh-sungguh mengambil peran untuk menangani hal-hal YANG TIDAK DIGARAP ORANG NEGARA atau menangani PERSOALAN-PERSOALAN YANG JUSTRU DITIMBULKAN OLEH NEGARA?
Pada titik ini kita perlu RAGU! Sebab, LSM-LSM yang berwajah ormas itu, yang marak pasca Orde Baru lebih banyak memfungsikan diri sebagai Cheerleaders (pemandu sorak) bagi sosok tertentu yang sedang mengincar jabatan-jabatan publik melalui pemilihan umum.
Menjadi cheerleaders (pemandu sorak) saja sudah menjadi suatu persoalan, sebab tidak terlibat langsung dengan apa yang hendak dikerjakan oleh sang kandidat. Permasalahan menjadi makin pelik ketika yang di-pandusorak-i adalah sosok tertentu tanpa garis ideologis yang jelas. Mendukung sosok tertentu tanpa garis ideologis yang jelas adalah langkah awal untuk menghantar SEORANG TIRAN KE TAMPUK KEKUASAAN. Pada titik ini kita segera melihat betapa LSM masa kini sangat berpotensi MENGUBUR DEMOKRASI dan MENDIRIKAN TIRANI di negeri ini: yakni ketika LSM hanya berperan sebagai cheerleaders bagi SOSOK YANG SEKEDAR HAUS KUASA,- ( Red).