Jacob Ereste : Merenung, Kontemplasi Atau Ikhtikaf Bagian Dari Laku Spiritual Yang Penting dan Perlu. 

Jacob Ereste : Merenung, Kontemplasi Atau Ikhtikaf Bagian Dari Laku Spiritual Yang Penting dan Perlu. 
Spread the love

Banten,elangmasnews.com, Perlunya melakukan Perenungan atas segala bentuk kenikmatan yang dirasakan — mulai dari hal-hal yang kecil, remeh temeh — dapat membangun rasa syukur hingga tidak tamak dan rakus untuk menikmati hal-hal yang berlebih diluar kebutuhan dan kemampuan yang tidak perlu dipaksakan.

Perenungan dan sejenisnya kontemplasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan kesabaran hingga rasa syukur yang patut dikakukan untuk lebih dapat memahami eksistensi diri serta kekuatan termasuk kelemahan yang wajib dan haru diatasi agar hal-hal yang buruk tidak sampai terjadi dan merugikan diri sendiri.

Tahapan dari langkah laku spiritual ini seyogyanya dapat dilakukan secara kontinyu — periodik — dalam jangka waktu- waktu tertentu guna melakukan kontrol pada keseimbangan jiwa dan raga yang telah memiliki takaran tertentu untuk menerima beban hingga keuntungan yang bisa menjadi bagian dari apa yang diinginkan.

Jadi upaya untuk melakukan perenungan yang utama adalah untuk menakar kemampuan jiwa dan raga untuk menerima dan menanggung beban yang dapat dilakukan secara wajar dalam suatu kesadaran yang terkontrol dan terkendalikan.

Dalam konteks inilah emosional yang terdiri dari rasa rakus dan tamak serta ambisi berlebih perlu dan harus dapat dikendalikan. Karena itu dalam keyakinan berbagai agama, laku puasa dipahami juga sebagai bagian dari laku spiritual yang perlu — bahkan wajib — untuk dilakukan kapan saja dianggap perlu berdasarkan kesadaran dan keyakinan bahwa puasa itu harus dilakukan guna menjaga tata keseimbangan batin, ruh dan jiwa serta segenap unsur dunia dalam dengan dunia luar.

Perenungan pun — sebelum melakukan sesuatu — adalah semacam upaya untuk melakukan evaluasi, kajian dan telaah tentang sesuatu yang hendak dilakukan sebagai keputusan yang menjadi pilihan agar tidak salah hingga menjadi penyesalan setelah semuanya terjadi yang tak mungkin dapat dikembalikan pada keadaan sebelumnya.

Perenungan juga perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ketegangan, stress atau tingkat emosional yang bergejolak hingga acap tidak mampu untuk dikendalikan, sehingga akibatnya dapat lebih awal dipahami akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk pihak lain.

Maka itu dalam pepatah lama para leluhur: pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Artinya jelas untuk bersikap bijak dalam menentukan pilihan harus mantap dan matang, sehingga tidak ada penyesalan terhadap keputusan yang telah dilakukan itu.

Upaya melakukan perenungan atau kontemplasi perlu sebagai proses dari refleksi diri yang dilakukan dengan kesadaran yang jernih dan mendalam sebelum membuat keputusan yang segera hendak dilakukan.

Pada intinya adalah agar tidak sampai terjadi kesalahan untuk memilih dan menentukan tindakan yang tepat, baik untuk diri sendiri maupun akibatnya bagi orang lain yang terkena atau sekedar terdampak dari tindakan keputusan yang dilakukan itu.

Berbeda dengan meditasi yang acap dianggap keliru untuk dipahami oleh kalangan tertentu, sehingga sering dianggap musyrik — menyekutukan Allah — karena dipahami sebagai bentuk ibadah (menyembah, mengagungkan atau percaya) kepada sesuatu yang lain selain Allah.

Padahal, kontemplasi itu adalah upaya untuk mengosongkan pikiran agar berada dalam suasana hening dan bersih, terbebas dari semua beban pikiran, perasaan, anggapan, dugaan, prasangka serta beragam gejolak jiwa dan batin yang tidak perlu terjadi, sehingga perlu melakukan kontemplasi untuk menenangkan, meredakan dan menenteramkan jiwa dan batin baik yang bersifat spiritual maupun dalam bentuk material.

Padahal, kontemplasi itu hanya sebutan dari salah satu laku spiritual persis semacam ikhtikaf yang dilakukan oleh ummat Islam di masjid. Hanya saja ikhtikaf yang dikembangkan kemudian tata pelaksanaannya — utamanya oleh para seniman — disebut kontemplasi dengan memilih tempat yang dianggap hening seperti di atas gunung atau bahkan di pemakaman yang sepi dan sangat jarang dikunjungi orang.

Laku suasana yang hening dan senyap itu pun disebut wingit, angket dan seterusnya yang membangun image negatif yang mengarah pada dugaan menyekutukan Tuhan. Padahal, dalam lalu spiritual itu dapat mencapai kecerdasan maksimal yang tak mungkin diraih oleh kemampuan intelektual, seperti kemampuan berbahasa bumi dalam istilah Sri Eko Sriyanto Galgendu,dalam versi Prof. Dr. Davik Karsidi MS bahwa kemampuan berbahasa yang tidak jamak itu disebut bahasa langit.

Bahkan kelebihan lain dari kecerdasan dan kemampuan spiritual yang dapat diperoleh adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang kebanyakan, termasuk memahami isyarat dari suatu peristiwa yang bakal terjadi kemudian.

Jadi, kemampuan mengetahui sesuatu yang belum terjadi, merupakan bagian dari capaian spiritual yang tekun dilakukan tanpa hirau terhadap pengakuan atau tidak dari orang lain, karena laku spiritual itu sendiri harus dilakukan bukan sebagai kewajiban, tetapi lebih sebagai kebutuhan yang acap tidak mampu dipahami oleh orang awam.

Sebab laku spiritualitas itu merupakan kebutuhan jiwa bagi seluruh umat manusia untuk menjaga konsistensi etika, moral dan akhlak mulia kemanusiaan yang diberikan oleh Allah SWT sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi. Karena itu, pada dasarnya manusia itu — sekecil apapun — pasti memiliki sifat dan sikap Illahi. (*)

 

Banten, 6 Mei 2025


Spread the love

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *