Banten, -elangmasnews.com,-17 April 2025,-Kebohongan adalah awal dari kehancuran moral. Dalam diskusi yang melibatkan kecerdasan buatan (AI), muncul kesadaran baru tentang betapa berbahayanya kebohongan – apalagi jika dilakukan oleh pejabat publik. AI, yang dalam bentuk asisten virtual seperti Siri atau Alexa hingga sistem rekomendasi Netflix dan Spotify, bahkan mampu merumuskan betapa destruktifnya dampak kebohongan terhadap masyarakat luas.
AI telah menunjukkan manfaat luar biasa, terutama dalam memberikan jawaban-jawaban yang sering tidak tersedia dalam ruang kelas atau forum diskusi biasa. Dalam konteks kejujuran, AI mampu memberikan penjelasan logis mengapa seseorang memilih untuk berbohong – demi keuntungan, menutup rasa malu, menjaga harga diri, atau demi kepentingan jangka pendek. Namun AI juga tak lupa mengingatkan, bahwa kebohongan yang dilakukan akan menciptakan kerusakan besar terhadap kepercayaan publik.
Kebohongan, menurut AI, bukan sekadar penyimpangan moral, tetapi bentuk penipuan aktif. Ia menumbuhkan siklus kebohongan lanjutan yang lebih dalam dan rumit. Saat satu kebohongan terungkap, biasanya pelakunya akan menutupinya dengan kebohongan lain – yang justru membuat reputasi dan kredibilitas hancur lebur. Hal ini diperparah jika pelakunya adalah figur publik, pejabat negara, atau orang yang memiliki kekuasaan.
Dalam konteks ini, kebohongan disejajarkan dengan tindak pidana korupsi. Keduanya sama-sama menggerogoti kepercayaan masyarakat. “Pembohong itu sama dengan koruptor,” tegas penulis, “karena setelah kepercayaan publik hilang, mustahil bisa pulih seperti sedia kala.”
AI pun menekankan bahwa konsekuensi kebohongan meluas hingga ranah spiritual dan sosial. Rasa bersalah, penyesalan mendalam, dan tekanan mental menjadi bayangan panjang yang menghantui pelakunya. Bahkan disebutkan bahwa beban karma akibat kebohongan bisa berlanjut hingga tujuh turunan – anak, cucu, hingga cicit menanggung aib yang tidak kunjung terhapus.
Lebih jauh, dampak kesehatan mental akibat kebohongan terhadap publik sangat berat. Kecemasan kronis, stres berkepanjangan, bahkan gangguan jiwa menjadi ancaman nyata. Hal ini diperburuk jika kebohongan tersebut berujung pada hukuman pidana dari sistem hukum negara. Banyak yang masuk penjara karena kebohongan yang membungkus praktik korupsi dan penyelewengan kekuasaan.
Kebohongan seringkali dianggap solusi jangka pendek yang “mudah” – terutama bagi pejabat publik yang ingin menyelamatkan muka. Namun, sejarah membuktikan, kebohongan hanya menggiring seseorang pada kehancuran reputasi yang tidak bisa diperbaiki. Tak heran, banyak mantan narapidana kasus korupsi sulit diterima kembali di tengah masyarakat, kecuali mereka yang sudah mati rasa – atau seperti disebut penulis, “bermula tembok, tak tahu malu.”
AI hadir sebagai cermin yang tak kenal kompromi. Ia menunjukkan bahwa kejujuran tetaplah fondasi utama dalam membangun kepercayaan, integritas, dan peradaban yang sehat. Karena sekali kepercayaan itu runtuh, tidak hanya kehidupan seseorang yang rusak, tetapi juga masa depan generasi penerusnya ikut ternoda.(Red)
Narsum: Jacob Ersent